Menjadi seorang intelektual muda, dalam hal ini diperankan oleh para mahasiswa, menjadi hal yang sangat tidak mudah. Menjadi intelektual sejati, banyak hal yang perlu dilatih dan dikorbankan. Hal-hal yang perlu dilatih tentu saja mengenai manajerial waktu belajar dan sikap hidup yang mencerminkan etos kerja intelektual, yang tak lain tak bukan adalah membaca dan menulis. Di sini saya mengibaratkan pena adalah sebuah simbol dari etos kerja intelektual mahasiswa.
Pena sebagai etos kerja intelektual mahasiswa tampaknya sekarang ini tersisih, terempas, dan tidak mengandung sakralitas lagi. Posisi pena bagi mahasiswa di negara kita tak ubahnya barang biasa saja dan tak bernilai. Padahal, dengan sebuah pena, sejarah manusia tergores di bebatuan, di kertas papirus, di daun lontar dan di kertas. Pena telah memaktubkan dirinya sebagai pengantar ilmu pengetahuan, kunci bagi segala ilmu pengetahuan.
Kehadiran pena dalam lingkup pelaku intelektual tentu saja tidak asing lagi, pena merupakan alat tulis penting. Namun, kehadiran teknologi yang memproduksi massal pena dengan berbagai macam variasinya dan dengan harga yang sangat relatif murah mereduksi nilai pena itu sendiri. Mungkin jika pena dapat berbicara dan mengaduh tentang keberadaannya saat ini, niscaya pena akan menjerit histeris.
Kesakralan pena bisa kita cermati, pahami dan lihat dengan jelas melalu produk sinematik film yang berjudul 3 Idiots dan Beautiful Mind. Dalam kedua film tersebut pena diibaratkan sebagai sebuah tropi intelektualitas yang didapat dengan usaha dan waktu yang tidak sebentar. Dalam film 3 Idiots, pena dijadikan sebuah iming-iming dan acuan mimpi para mahasiswa. Diceritakan bahwasanya Rektor ICE (imperial college of engineering) Dr. Viru Shastrabhuddi memberi sambutan dan sekedar orientasi kepada mahasiswa baru ICE, beliau mengatakan pena adalah lambang kesempurnaan. Pena akan jatuh pada mahasiswa-mahasiswa yang luar biasa dan hebat. Pena membuktikan bahwa nilai kehebatan dalam meraih intelektualitas tidak perlu iming-iming utopis berupa uang atau barang materi lainnya. Namun cukup pena, alat tulis sederhana yang dibelakangnya membawa makna biografi orang-orang hebat dan luar biasa.
Penekanan sakralitas pena akan semakin mendapat legitimasi kuat dalam dunia pendidikan tinggi di negara manapun. Kisah luar biasa dihantarkan oleh film berjudul Beautiful Mind, film ini dibuat berdasarkan kisah nyata dari seorang profesor yang bernama Prof. John Nash, seorang jenius dari Virginia barat yang mendapat beasiswa di Universitas Princeton. Dalam masa perkuliahannya, Prof. John Nash mengidap schizophrenia dan berkhayal mempunyai 3 teman khayalan. Keadaan semakin bertambah buruk sampai-sampai beliau tidak menulis riset satu pun. Beliau lalu dipanggil dekan fakultasnya dan diberitahu bahwa seseorang sehebat apapun tidak akan berguna jika tidak menghasilkan sesuatu yang berguna bagi orang sekitarnya. Dekan itu lalu menunjukkan seorang dosen Princeton yang mendapat penghargaan seumur hidup dan dosen itu diberi pena oleh dosen lainnya. Sang dekan mengatakan kepada Prof. John Nash muda bahwa pena adalah lambang pengakuan intelektualitas seumur hidup dan hanya orang yang layak yang akan mendapatkannya. Orang yang sudah memberi kemaslahatan dan kebaikan bagi sesama. Lanjut cerita, walau dengan waktu yang lama akhirnya Prof. John Nash dinominasikan menjadi peraih nobel pada tahun 1994. Saat disampaikan mengenai berita tersebut Prof. John Nash seolah tidak percaya, namun berita tersebut dikonfirmasikan dengan suatu momen pemberian pena oleh dosen-dosen Princeton yang ada di kantin. Pena mejadi agen yang melegitimasi berita tersebut. Pena-lah yang membuat Prof. John Nash sadar apa yang diberitahukan kepadanya adalah benar dan senyata-nyatanya.
Kehadiran pena menjadi berarti dan sakral bagi kalangan intelektual. Hal ini juga dibuktikan oleh wartawan senior kawakan kita yang baru saja berpulang kehadirat Tuhan, yakni Rosihan Anwar. Pena tidak pernah terlepas dari genggaman beliau. pena ibarat udara yang memang dibutuhkan untuk hidup. Kejadian menarik mengenai pena dan Rosihan Anwar terekam dalam sebuah obituari di majalah Tempo edisi 18-24 maret 2011. Dalam obituari tersebut diterangkan bahwa Rosihan Anwar selalu membawa pena di dalam sakunya dan sebuah buku catatan. Beliau bahkan menjadikan itu sebuah kebiasaan dan kebiasaan ini merupakan kekuatan bagi tulisan-tulisan beliau. Pena tentu saja perantara semua ini, pena memahat peristiwa dan suasana dengan detil dan tak satupun yang luput jika kita mau menggunakannya seperti almarhum Rosihan Anwar.
Pena, alat tulis sederhana yang bisa digunakan dalam cuaca apapun, suhu apapun, dalam gravitasi nol, dan seterusnya menyulam makna ketabahan, keberanian, kejujuran dan kebenaran. Hal ini pula yang menurut hemat saya sakralitas pena terbangun. Dimulai dari tradisi kuno hingga zaman globalisasi. Namun, kesedihan ternyata melilit saya melihat realitas pena sekarang ini, pena tidak lagi akrab dengan para mahasiswa. Pena semakin terasa asing dengan diri dan lingkungannya. Agen-agen penjaga sakralitas itu, para mahasiswa seakan-akan telah lupa atau memang melupakan diri bahwa seharusnya pena selalu berada di dekat mereka. Membisiki dan menghembuskan mimpi-mimpi kesempurnaan dan pengakuan intelektualitas mereka. Mengatakan kepada dunia bahwa mereka bukanlah mahasiswa biasa saja, namun mahasiswa yang luar biasa.[]