Selasa, 22 November 2011

PEREMPUAN DALAM TERORISME

Pada layar televisi kita akhir-akhir ini, pemberitaan didominasi oleh masalah terorisme. Terorisme kali ini dilakukan berbeda dari cara sebelumnya. Pada masa-masa sebelumnya, tindakan terorisme selalu berkutat dengan bom, baik itu melakukan pengeboman pada suatu tempat atau bom bunuh diri yang akan menghasilkan korban yang tidak sedikit. Namanya juga aksi terorisme, maka akhir cerita yang mereka inginkan adalah terciptanya keresahan, kegelisahan, ketakutan, dan kecemasan yang tiada hentinya.
Akibat aksi terorisme ini lebih kuat dirasakan oleh para perempuan, terutama ibu-ibu dan istri-istri. Mereka takut kalau-kalau anak laki-laki atau suami mereka terlibat dan bergabung dengan teroris. Pun ketika hal itu menjadi kenyataan, para perempuan itu sudah dan akan bingung, bagaimana nasib mereka kelak. Hidup juga tidak akan sama dengan yang dahulu.
Menurut pemahaman para ibu-ibu dan para istri awam, teroris adalah orang yang mengambil jalur radikal guna melegitimasi kepercayaan mereka dan menghabisi orang-orang yang tidak sepaham dengan mereka. Padahal, istilah terorisme jika ditilik dari pengertian Adjie S, Msc adalah suatu madzhab atau aliran kepercayaan melalui pemaksaan kehendak guna menyuarakan pesan, asas dengan cara melakukan tindakan illegal yang menjurus kearah kekerasan, kebrutalan bahkan pembunuhan. Sehingga secara kasar kita bisa menyatakan bahwa terorisme adalah tindakan yang meneror masyarakat.
Keadaan semakin parah dan tak terkendali karena stigma masyarakat mengenai terorisme disamaratakan dengan perbuatan zina, membunuh, merampok, dan lain-lain. Sehingga para perempuan yang terkait dengan para teroris, baik itu ibu maupun istri teroris akan menjadi stigma yang akan melekat pada mereka seumur hidup.
Seandainya para perempuan yang anak laki-laki atau suami mereka terlibat dengan hal perterorisan tahu bahwa sebenarnya aksi terorisme berdasarkan tautan historiografi, bukanlah hal yang baru bahkan aksi terorisme sudah lahir sejak ribuan tahun silam. Seperti yang terjadi dalam sejarah Yunani kuno, Xenophon menggunakan psychological warfare sebagai usaha untuk memperlemah lawan. Di India, Kaultiya yang menulis Arthashastra (303 BC), menyatakan bahwa Tunim Yuddha atau perang secara diam-diam dilakukan untuk mengalahkan lawan-lawannya. Pun pada dekade ini aksi terorisme sudah mengenal cara membunuh dengan jalan menebar racun, melakukan pemberontakan yang tidak disadari lawan untuk memperoleh kemenangan.  Dan sesungguhnya kata “terorisme” diperoleh dari rezim terror yang terjadi selama Revolusi Perancis tahun 1790-an.
Aksi terorisme seiring dengan bergulirnya waktu mengalami tarik ulur perubahan dan bukanlah suatu hal baru. Namun, terorisme sudah menjadi semacam fenomena dalam masyarakat yang berkembang ke dalam suatu strategi tingkat tinggi. Aksinya pun sekarang tidak lagi secara diam-diam tapi sudah merambah ke dalam aksi yang terbuka. Ditambah pemberitaan media baik cetak maupun elektronik yang membuat aksi terorisme semakin mendapat momentum puncak keresahan masyarakat. Dan dengan adanya momentum keresahan masyarakat ini, para perempuan yang tidak lain ibu atau istri sang teroris semakin mendapat stigma yang semakin berat, tidak hanya dari masyarakat sekitar tetapi masyarakat senegara.
Kasus aksi terorisme yang paling up date adalah aksi terorisme di Deli Serdang, Sumatra Utara. Aksi tersebut menelan korban tak hanya dari terorisnya itu sendiri, tapi dari aparat kepolisian maupun Densus 88 yang mengalami baku tembak seru pada saat penyergapan.
Kejadian seru yang berlangsung pada saat baku tembak tidak hanya berakhir begitu saja, bahkan tragedi selanjutnya akan segera dimulai. Tragedi tersebut adalah peperangan melawan stigmatisasi masyarakat terhadap pelaku aksi terorisme dan semua yang terkait dengannya, tak terkecuali para ibu dan istri sang terrorist. Kekejaman stigma masyarakat mengenai aksi pelaku teroris saat ini mungkin bisa disamakan dengan stigmatisasi masyarakat terhadap keluarga yang diduga penganut komunis pada zaman Orde Baru dulu. Sejak pelaku teror tertangkap, diidentifikasi identitasnya serta diumumkan di masyarakat melalui media baik cetak maupun elektronik, nasib malang akan menimpa keluarga teroris tersebut, terlebih lagi perempuan yang menjadi  ibu dan istri dari sang terrorist.
Ibu dan istri yang bisa dibilang paling dekat dan tahu kepribadian pelaku teroris dengan sangat baik, yang awalnya tidak tahu-menahu dan tidak diketahuinya anak maupun suaminya terlibat aksi terorisme  harus mendapat beban psikologi represif membabi buta yang dilakukan oleh masyarakat. Tetangga yang dulunya baik dan ramah berubah menjadi kejam, tak manusiawi. Intimidasi-intimidasi pun dengan gencar dilakukan masyarakat sekeliling rumah ibu dan istri teroris, baik secara terang-terangan maupun tersembunyi. Tapi aneh bin ajaibnya, perlakuan masyarakat yang berakar dari stigmatisasi umum melegitimasi tindakan itu.
Ibu dan istri teroris yang juga seorang perempuan kadang sangat menderita atas ulah anak dan suaminya itu. Mereka mengira bahwa anak dan suaminya hidup jauh dari hal yang tidak terduga itu sampai kenyataan berkata lain.
Perlakuan tidak manusiawi yang dilakukan masyarakat terhadap perempuan berelasi dekat dengan teroris itu berlangsung bertubi-tubi, bahkan perempuan-perempuan itu dianggap seperti air nila yang telah merusak susu sebelanga. Keberadaan mereka di lingkungan masyarakat tidak diperhitungkan lagi, bahkan mereka dianggap tidak ada secara fisik maupun sejarah diri. Para perempuan itu dialienasi dalam lingkungan, bahkan ada tindakan yang sangat radikal, yaitu mengalami pengusiran.
Seandainya masyarakat tahu dan paham bahwa perempuan yang menjadi ibu dan istri terrorist juga manusia biasa, apakah mereka akan melakukan sigmatisasi dan tindakan yang tidak manusiawi itu?? Entahlah. Atau mungkin juga kebusukan masyarakat kita memang terlalu melegitimasi stigma dan semua tindakan yang berdasarkan hal itu, tanpa mereka tahu mungkin tindakan dan stigma mereka lebih kejam daripada tindakan terorisme itu sendiri.  Menyedihkan!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar