Mengutip pernyataan Jean-Paul Sartre, bahwasanya eksistensi lebih dulu ada dibanding esensi (l'existence précède l'essence). Manusia tidak memiliki apa-apa saat dilahirkan dan selama hidupnya ia tidak lebih dari hasil kalkulasi komitmen-komitmennya di masa lalu. Karena itu, menurut Sartre, satu-satunya landasan nilai adalah kebebasan manusia. Media kebebasan manusia yang paling nyata adalah menulis sehingga dengan menulis manusia menandai eksistensinya dan menghasilkan sesuatu dari yang telah ditulisnya itu.
Membicarakan tentang tema eksistensi, saya jadi teringat oleh eksistensi sosok manusia yang kritis dan membawa dampak positif bagi lingkungan terdekatnya hingga negaranya. Manusia yang ingin saya bahas disini adalah mahasiswa. Mahasiswa adalah manusia yang paling tidak menjadi motor sebuah gerakan yang membawa kemaslahatan bagi masyarakat, menghasilkan sesuatu. Tulisan tentunya menandai eksistensi mereka sebagai figur intelektual. Tapi, pada kenyataannya mahasiswa yang seharusnya menjadi manusia intelek yang bisa dimintai bantuan soal keilmuan seolah acuh tak acuh mengenai hal tersebut. Mahasiswa sekarang ini lebih berasyik masyuk dengan kegiatan main play station, pacaran, nonton film, futsal, dan lain-lain. Hal yang dilakukan mahasiswa tersebut berbeda sekali dengan mahasiswa pada zaman 1970-an dan 1980-an.
Pada zaman tahun 1970-an, masyarakat Indonesia digegerkan oleh catatan seorang mahasiswa demonstran asal Universitas Indonesia bernama Soe Hok Gie. Gie adalah salah satu sosok mahasiswa yang menandai eksistensinya dengan menulis yang didalamnya berisi hal-hal yang sedang dialaminya. Mungkin secara sekilas membuat catatan adalah hal yang paling remeh dan tidak penting, tapi pada kenyataannya, sebuah catatan bisa menjadi referensi sejarah masa lampau, mengecek kebenaran yang mungkin mulai membengkok. Jika kita membandingkan mahasiswa sekarang dan zaman dulu, maka sungguh bagai ujung rambut dan ujung kaki. Mahasiswa dahulu rajin mengkaji keilmuan mereka dengan diskusi, membaca buku, dan menulis, sedangkan mahasiswa sekarang mungkin belum pernah melakukan hal itu semua, kecuali jika tidak ada tugas mata kuliah yang mewajibkannya. Sungguh ironi yang memedihkan.
Menarik apa yang dilakukan Gie dalam membuat catatannya yang dimulai pada usia 15 tahun, setiap hari. Ia menulis apa saja yang dialaminya. Catatan harian pertamanya bertanggal 4 Maret 1957, ketika ia masih duduk di kelas 2 SMP Stada. Sedangkan catatan terakhir bertanggal 10 Desember 1969, hanya seminggu sebelum kematiannya. Catatan tersebut menulis tentang kritik kerasnya tentang rezim Orde Baru dan pemerintahan Soeharto. Gie berjuang melalui tulisan dan catatan-catatannya. Sungguh Gie adalah tokoh yang menginspirasi.
Mahasiswa lain yang berjuang melalui catatannya adalah Ahmad Wahib. Ia adalah mahasiswa angkatan 1980-an yang juga menulis seperti Gie. Ahmad Wahib adalah seorang mahasiswa yang budayawan dan pemikir Islam. Semasa hidupnya yang singkat banyak membuat catatan permenungan yang juga telah dibukukan dalam Pergolakan Pemikiran Islam. Dalam catatannya, Ahmad Wahib berusaha mencatat hal-hal apa saja yang membuat resah, gelisah dan mengganggu alam pikirannya. Wahib menulis hal yang sepele, tapi menjadi sebuah perenungan kita semua. Seperti catatannya yang bertanggal 6 Juni 1969: “Aku tidak mengerti keadaan di Indonesia ini. Ada orang yang sudah sepuluh tahun jadi tukang becak. Tidak meningkat-ningkat. Seorang tukang cukur bercerita bahwa dia sudah 20 tahun bekerja sebagai tukang cukur. Penghasilannya hampir tetap saja. Bagaimana ini?” Catatan ini mungkin hal remeh, tapi hal ini adalah refleksi kebebasan manusia yang dimiliki oleh Wahib. Ia dengan kejujuran hati dan kemurnian jiwanya menulis hal-hal sepele yang kadang kala kita tidak pernah memperhatikannya ataupun merenungkannya. Hal yang juga jadi bagian refleksi kemanusiaan dan kekritisannya yang terusik melihat realitas kemiskinan yang menjamur dan tidak jua menemui solusi penyejahteraan. Mereka dalah korban dari janji wakil-wakil kita di DPR maupun di MPR pada masa itu.
Catatan Ahmad Wahib itu merupakan suara hati murni seorang manusia yang tidak tega melihat ketidakadilan di depan matanya. Catatan ini juga hampir senada dengan catatan Soe Hok Gie. Catatan mereka penuh kejujuran mengenai realitas masyarakat yang terjadi pada saat itu sehingga ketika kita membaca kedua catatan tersebut waktu seolah terhenti dan catatan tersebut seperti mencambuk dan menyadarkan kita akan pentingnya kepekaan individu dan keberanian menyuarakan hal-hal yang jujur dan benar.
Lain halnya dengan sebuah catatan yang akhir-akhir ini menjadi best seller di toko-toko buku seluruh Indonesia. Catatan tersebut berjudul Catatan Anak Kos Dodol. Catatan tersebut merupakan catatan dari seorang mahasiswi yang menghuni sebuah kos. Untuk selengkapnya catatan tersebut berkisar tentang gaya hidup mahasiswi masa kini yang sarat akan muatan kehidupan yang sudah teracuni oleh faham kapitalistik. Semuanya berkisah tentang mahasiswi yang ingin cantik dan bergaya trendi, ingin selalu gaul dan menambah wawasan, ingin bertubuh indah dan makan enak-enak tanpa khawatir melar, ingin kencan atawa jalan-jalan, dan lain-lain.
Entah zaman yang sudah berubah atau karakteristik mahasiswanya yang memang sudah sangat berbeda sekali. Karakteristik mahasiswa yang pada tahun 1970-an dan 1980-an sarat dengan kehidupan yang keras karena masa-masa itu memerlukan banyak kritik yang membangun. Mahasiswa pada saat itu menjadi sentra pengawas jalannya pemerintah supaya tidak melenceng. Perjuangan mahasiswa pada masa itu juga tidak sering dimuati oleh kepentingan-kepentingan politik pragmatis. Sedangkan catatan anak kos dodol yang merupakan salah satu representasi catatan mahasiswa zaman sekarang, serasa sangat jompling, entah dari isi dan makna. Apakah ini pertanda bahwa mahasiswa sedang mengalami krisis yang parah?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar