Selasa, 22 November 2011

MERENUNG DARI KONSTRUKSI JALAN

Jalan adalah bagian dari pembangunan modernisasi, yang kita tidak bisa terlepas darinya. Jalan ada di mana-mana, bahkan menjadi bagian dari hidup kita. Jalan pun terbagi menjadi dua, jalan dalam arti metafora dan jalan dalam arti denotasi. Ketika kita berusaha mengingat atau memanggil kembali memori-memori masa kecil tentang jalan zaman dulu, jalan adalah bagian tak terpisahkan dari cerita-cerita yang keluar dari mulut kecil kita kepada ibunda. Ingatkah betapa senangnya kita menemukan jalan pulang ke rumah karena kita mendengarkan petunjuk-petunjuk dari ibu ketika kita memaksa pergi dan pulang sekolah dengan berjalan kaki sendiri? Ingatkah kita yang dulu masih kecil dan polos sangat tertegun ketika kita menemukan dunia yang baru, mengetahui hal baru dan mengamati hal baru dalam perjalanan pergi ke atau pulang dari sekolah dengan berjalan kaki?
Betapa kepolosan masa kanak-kanak membuat kita kadang lebih mengerti kebermaknaan hidup dari jalan. Kebermaknaan itu mungkin secara tidak sadar terkonstruksi dalam alam pikiran kita: cara kita berjalan melalui jalan sempit atau menyapa mbah-mbah yang pagi-pagi sudah menyapu halaman rumah. Kita memberi sapaan pun kadang dalam situasi kita belum mengenal mbah-mbah atau ibu-ibu yang menyapu halaman rumahnya itu. Sapaan kecil meleburkan kegengsian dan membuat kita dipanggil oleh mbah-mbah tadi. Kita pasti akan ditanya siapa ayah dan ibu kita. Mereka juga pasti akan mengonfirmasi, apakah mereka kenal ayah dan ibu kita. Sebuah hubungan kolektif terjalin dari sapaan kecil saat melewati jalan sempit. Saat kita kemudian meneruskan perjalanan menuju sekolah, rasa senang dalam mengamati kegiatan orang-orang yang rumahnya di samping jalan, yang kita lewati, menjadi keasyikan tersendiri. Pengamatan dari seorang anak kecil tentu saja masih menggunakan tafsiran-tafsiran yang dangkal, namun tafsiran-tafsiran itu memberi stimulus-stimulus bagi otak dan rasa keingintahuan yang membludak. Jalan memberi kita semua itu tanpa kita sadari. Jalan memberi kita jawaban atau rangsangan-rangsangan pertanyaan tentang hidup itu sendiri.
Pada situasi sekarang, kita sebagai manusia yang sok modern telah banyak lupa tentang kebermaknaan hal-hal di sekitar kita, terutama jalan. Jalan adalah konstruksi bangunan modern yang telah mengalami proses lama dalam perubahan zaman. Jalan biasanya hanya dianggap sebagai sarana transportasi yang dilewati bis, sepeda motor, mobil, delman, becak, yang bisa menembus makna budaya kolektif antar generasi. Bahkan, mempunyai nilai-nilai kearifan humanis. Dahulu jalan adalah milik bersama, tapi sekarang jalan menjadi milik negara.
Mbah-mbah dan ibu-ibu yang dulu pagi-pagi sudah menyapu jalan sekarang hampir sulit kita jumpai lagi. Namun, jika kita masih menemukannya, kita akan menemukan fenomena itu dipelosok-pelosok desa. Fenomena itu pada hakikatnya sudah punah di kota. Nalar keseharian kita yang selalu menggunakan jalan terhapus rasa humanismenya karena kita tidak bersentuhan langsung dengan jalan. Kebanyakan dari kita lebih memilih naik mobil, sepeda motor, bis atau yang lain ketika melewati sebuah jalan. Jalan pun kini sudah berevolusi menjadi jalan yang beraspal. Jalan yang beraspal menggiring kita pada konstruksi nalar politik dan  ekonomi. Jalan bagi kita berubah bentuk menjadi komoditi yang merepresentasikan kemakmuran dan kelancaran arus ekonomi. Bahkan mulusnya jalan raya yang beraspal banyak sekali menjadi program kerja para calon aparatur negara.
Kita manusia sering dan memang banyak melupa. Jalan sebenarnya bisa menjadi sebuah refleksi hidup dan melatih kepekaan kita dalam melihat sisi panggung hidup seorang manusia sebenarnya yang banyak terjadi di jalan. Jalan, alih-alih, juga memberi kita label status dalam masyarakat. Imajinasikan saja ketika kita bertanya kepada teman di daerah manakah dia tinggal, maka kita pasti akan mereka-reka kehidupan seperti apa yang dia tinggali. Jika dia tinggalnya di daerah yang banyak jalan sempitnya,  maka imajinasi kita pasti akan terbang ke daerah permukiman kumuh, hunian bagi kalangan menengah ke bawah yang tempat tinggalnya berdesak-desakan, langganan banjir ketika musim hujan. Lain halnya ketika teman kita berkata bahwa dia tinggal di daerah jalan Cendana, maka pikiran kita pasti akan melayang menuju imaji-imaji rumah mewah bertingkat dua atau lebih, garasi yang lebar dan banyak mobil terbaru yang diparkir, infrastruktur bangunan yang bagus, rapi nan indah, taman yang luas. Jalan memberi stigmatisasi terhadap kita mengenai status kita sebagai manusia.
Pemaknaan jalan bagi manusia memang beragam, ada yang mengambil pemaknaan melalui jalan politik, filsafat, ekonomi, budaya, sosial. Pemaknaan yang beragam itu pula dapat kita renungi: mau kita ambil jalan mana dan seperti apa bagi hidup kita? Selanjutnya, kita hanya bisa menyikapi dan menerapkan arti-arti implisit itu yang pas dalam hidup kita. Mengutip pernyataan Nietzsche dalam bukunya Zarathustra, “tapi engkau ingin menempuh jalan kesakitanmu, yakni jalan menuju dirimu sendiri? Bila begitu perlihatkan padaku kekuatan dirimu menghadapinya (jalan nafsu dan ambisi, nafsu kemasyuran, gejolak ambisi) dan hakmu atas dia”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar