Selasa, 22 November 2011

Pendidikan Gender untuk Mahasiswa

“Seorang terpelajar harus juga belajar berlaku adil sudah sejak dalam pikiran, apalagi perbuatan”¾Pramodya Ananta Toer.

Kutipan yang dikatakan Jean Marais kepada  Minke dalam novel sejarah Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer  itu menggugah dan menggugat saya. Terutama, saat saya melihat realitas kehidupan kampus yang menjadi corong dan pabrik pembentukan kaum terpelajar di Indonesia. Kampus seharusnya mendidik dan membiasakan mahasiswa untuk berlaku adil sudah sejak dalam pikiran.

Tapi, anehnya, tidak ada mata kuliah yang khusus tentang pendidikan gender atau feminisme, baik sebagai mata kuliah umum atau pilihan. Memang di beberapa jurusan sudah mengajarakan tentang pemikiran feminisme dan diskursus gender seperti jurusan sastra dan jurusan sosiologi. Sungguh sangat minim mengingat satu universitas memiliki banyak jurusan. Ini bisa menggagalkan proyek keadilan terutama terhadap perempuan. Tragisnya, kegagalan itu dilakukan oleh sebuah lembaga pendidikan, yang seharusnya mengajarkan dan membumikan keadilan. Ini sungguh sebuah ironi.

Gugatan

Kenyataan tragis itu semakin menggugat saya, tatkala membentangkan informasi ada selama ini. Perjuangan emansipasi perempuan sudah menjadi diktum tak terbantahkan selama lebih dari satu abad ini. Ia menjadi faktor konstitutif peradaban modern. “Bukan saja karena teoretisasinya berhasil menggoyahkan legitimasi ilmu sosial modern, tetapi juga advokasinya telah menghasilkan dokumen-dokumen internasional yang mengikat Negara-negara beradab” (Rocky Gerung, Jurnal Perempuan, edisi 64).

Pemikiran feminisme atau diskursus gender dengan telak telah banyak menggugat kemapanan ilmu pengetahuan selama ini yang seksis, diskrimintif, dan opresif terhadap perempuan. Buku tipis karya Arif Budiman, Pembagian Kerja Secara Seksual (1985) membuktikan semua itu. Buku ini berhasil membuktikan ketidakadilan cara berpikir ilmu pengetahuan yang selama ini kita punya. Bahkan buku ini memaparkan pemikiran-pemikiran psikoanalisa, teori fungsionalis, dan faktor-faktor kebudayaan yang diskriminatif terhadap perempuan. Sedikit contoh konkrit, mahasiswa sebagai kaum terpelajar masih dijajah dengan pemikiran diskriminatif dan seksis saat ada perempuan yang masuk jurusan permesinan. Beberapa jurusan seperti dikhususkan untuk perempuan atau laki-laki dengan alasan perkelaminan.

Kita tahu, pemikiran feminisme atau diskursus gender sama dengan keadilan dan emansipasi. Tentu, sebagai konsekuensi logis, semua jurusan di universitas harus memberikan mata kuliah ini. Adalah naïf jika kita berkoar untuk mendidik mahasiswa menjadi kaum terpelajar jika mata kuliah ini tidak diajarkan. Adalah lucu mengingat gugatan feminisme telah menggarisbawahi sebuah arah politik yang radikal yang melampaui ras, identitas, dan nasionalitas, tapi universitas masih berdiam diri. Bukankah jadi lucu jika separuh umat manusia masih dinomorduakan oleh separuh yang lain, tapi universitas masih termangu-mangu.    

Kewajiban
Maka, tempat terbaik dalam mengubah semua itu adalah di dunia ilmu, yang di dalamnya terdapat generasi intelektual (terpelajar) mendapatkan ilmu pengetahuan. Dunia ilmu yang sangat tepat jika ditilik pada sumber nilainya adalah di kalangan kampus (universitas).

Posisi kesetaraan gender yang timpang antara laki-laki dan perempuan sekarang ini mengalami masa-masa kritisnya. Pendidikan gender yang seharusnya sudah tersebar luas dan difahami betul oleh kaum intelektual dari kalangan kampus ternyata masih tidak bisa membendung praksis-praksis ketidakadilan gender di dalam kehidupan bermasyarakat.

Jika kita menilik lebih dalam di lingkungan kampus, program-program pendidikan gender akan ada hanya di universitas-universitas yang membuka program studi kajian perempuan, sedangkan di program studi lain kita tidak akan bisa menemukannya. Hal yang sangat aneh, karena jika kita ingin kesetaraan gender ini bisa terealisasi dengan baik di lingkungan masyarakat, kita harus memulai pendidikan ini sejak dini, minimal pendidikan gender ini diberikan di kampus.

Pengenalan konsep gender  memang tidak semudah membalik telapak tangan, terlebih lagi di kampus. Pendidikan gender yang secara otomatis akan dikaitkan dengan gerakan-gerakan feminis akan sangat sulit sekali masuk ke kurikulum kampus (akademis). Hal ini dikarenakan ilmu-ilmu tradisional mempunyai tendensi untuk mendiskreditkan posisi dan aspirasi perempuan, ini semua juga berakar secara kuat  pada epistemologi modern yang menopangnya, seperti kata De Vaulth: “Jantung metodologi feminis adalah bahwa aparat produksi ilmu telah mengonstruksi dan melanggengkan penindasan terhadap perempuan.”

Konsep gender di universitas agaknya memang masih dipandang sebelah mata oleh beberapa kalangan. Menurut Rocky Gerung, hal ini dikarenakan oleh tiga hal. Pertama, konsep gender dipandang sebagai “keanehan akademis”, oleh mereka yang belum cukup kuat berpikir dalam kerangka epistemologi baru. Kedua, konsep gender dipandang sebagai “barang impor dari Barat” bagi mereka yang antipati terhadap transmisi pemikiran global. Ketiga, konsep gender sudah divonis sebagai “ajaran sesat” oleh mereka yang berpikir dalam kerangka keyakinan agamis. Sehingga universitas seperti ajang dalam mempertandingkan konsep.

Pada akhirnya, kita juga harus mengembalikan semua itu kepada universitas sendiri. Universitas yang berperan sebagai oase peradaban harus berpartisipasi aktif dalam mendorong wacana politik gender karena ini adalah kemestian historis yang mendesak. Jika universitas bersedia turut andil dalam perealisasian konsep gender ini maka universitas juga berperan dalam menciptakan keadilan di dalam masyarakat. Syukur-syukur hal ini bisa terwujud di tingkat lokal hingga nasional. Amin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar