Selasa, 22 November 2011

SAKRALITAS PENA

Menjadi seorang intelektual muda, dalam hal ini diperankan oleh para mahasiswa, menjadi hal yang sangat tidak mudah. Menjadi intelektual sejati, banyak hal yang perlu dilatih dan dikorbankan. Hal-hal yang perlu dilatih tentu saja mengenai manajerial waktu belajar dan sikap hidup yang mencerminkan etos kerja intelektual, yang tak lain tak bukan adalah membaca dan menulis. Di sini saya mengibaratkan pena adalah sebuah simbol dari etos kerja intelektual mahasiswa.
Pena sebagai etos kerja intelektual mahasiswa tampaknya sekarang ini tersisih, terempas, dan tidak mengandung sakralitas lagi. Posisi pena bagi mahasiswa di negara kita tak ubahnya barang biasa saja dan tak bernilai. Padahal, dengan sebuah pena, sejarah manusia tergores di bebatuan, di kertas papirus, di daun lontar dan di kertas. Pena telah memaktubkan dirinya sebagai pengantar ilmu pengetahuan, kunci bagi segala ilmu pengetahuan.
Kehadiran pena dalam lingkup pelaku intelektual tentu saja tidak asing lagi, pena merupakan alat tulis penting. Namun, kehadiran teknologi yang memproduksi massal pena dengan berbagai macam variasinya dan dengan harga yang sangat relatif murah mereduksi nilai pena itu sendiri. Mungkin jika pena dapat berbicara dan mengaduh tentang keberadaannya saat ini, niscaya pena akan menjerit histeris.
Kesakralan pena bisa kita cermati, pahami dan lihat dengan jelas melalu produk sinematik film yang berjudul 3 Idiots dan Beautiful Mind. Dalam kedua film tersebut pena diibaratkan sebagai sebuah tropi intelektualitas yang didapat dengan usaha dan waktu yang tidak sebentar. Dalam film 3 Idiots, pena dijadikan sebuah iming-iming dan acuan mimpi para mahasiswa. Diceritakan bahwasanya Rektor ICE (imperial college of engineering) Dr. Viru Shastrabhuddi memberi sambutan dan sekedar orientasi kepada mahasiswa baru ICE, beliau mengatakan pena adalah lambang kesempurnaan. Pena akan jatuh pada mahasiswa-mahasiswa yang luar biasa dan hebat. Pena membuktikan bahwa nilai kehebatan dalam meraih intelektualitas tidak perlu iming-iming utopis berupa uang atau barang materi lainnya. Namun cukup pena, alat tulis sederhana yang dibelakangnya membawa makna biografi orang-orang hebat dan luar biasa.
Penekanan sakralitas pena akan semakin mendapat legitimasi kuat dalam dunia pendidikan tinggi di negara manapun. Kisah luar biasa dihantarkan oleh film berjudul Beautiful Mind, film ini dibuat berdasarkan kisah nyata dari seorang profesor yang bernama Prof. John Nash, seorang jenius dari Virginia barat yang mendapat beasiswa di Universitas Princeton. Dalam masa perkuliahannya, Prof. John Nash mengidap schizophrenia dan berkhayal mempunyai 3 teman khayalan. Keadaan semakin bertambah buruk sampai-sampai beliau tidak menulis riset satu pun. Beliau lalu dipanggil dekan fakultasnya dan diberitahu bahwa seseorang sehebat apapun tidak akan berguna jika tidak menghasilkan sesuatu yang berguna bagi orang sekitarnya. Dekan itu lalu menunjukkan seorang dosen Princeton yang mendapat penghargaan seumur hidup dan dosen itu diberi pena oleh dosen lainnya. Sang dekan mengatakan kepada Prof. John Nash muda bahwa pena adalah lambang pengakuan intelektualitas seumur hidup dan hanya orang yang layak yang akan mendapatkannya. Orang yang sudah memberi kemaslahatan dan kebaikan bagi sesama. Lanjut cerita, walau dengan waktu yang lama akhirnya Prof. John Nash dinominasikan menjadi peraih nobel pada tahun 1994. Saat disampaikan mengenai berita tersebut Prof. John Nash seolah tidak percaya, namun berita tersebut dikonfirmasikan dengan suatu momen pemberian pena oleh dosen-dosen Princeton yang ada di kantin. Pena mejadi agen yang melegitimasi berita tersebut. Pena-lah yang membuat Prof. John Nash sadar apa yang diberitahukan kepadanya adalah benar dan senyata-nyatanya.
Kehadiran pena menjadi berarti dan sakral bagi kalangan intelektual. Hal ini juga dibuktikan oleh wartawan senior kawakan kita yang baru saja berpulang kehadirat Tuhan, yakni Rosihan Anwar. Pena tidak pernah terlepas dari genggaman beliau. pena ibarat udara yang memang dibutuhkan untuk hidup. Kejadian menarik mengenai pena dan Rosihan Anwar terekam dalam sebuah obituari di majalah Tempo edisi 18-24 maret 2011. Dalam obituari tersebut diterangkan bahwa Rosihan Anwar selalu membawa pena di dalam sakunya dan sebuah buku catatan. Beliau bahkan menjadikan itu sebuah kebiasaan dan kebiasaan ini merupakan kekuatan bagi tulisan-tulisan beliau. Pena tentu saja perantara semua ini, pena memahat peristiwa dan suasana dengan detil dan tak satupun yang luput jika kita mau menggunakannya seperti almarhum Rosihan Anwar.
Pena, alat tulis sederhana yang bisa digunakan dalam cuaca apapun, suhu apapun, dalam gravitasi nol, dan seterusnya menyulam makna ketabahan, keberanian, kejujuran dan kebenaran. Hal ini pula yang menurut hemat saya sakralitas pena terbangun. Dimulai dari tradisi kuno hingga zaman globalisasi. Namun, kesedihan ternyata melilit saya melihat realitas pena sekarang ini, pena tidak lagi akrab dengan para mahasiswa. Pena semakin terasa asing dengan diri dan lingkungannya. Agen-agen penjaga sakralitas itu, para mahasiswa seakan-akan telah lupa atau memang melupakan diri bahwa seharusnya pena selalu berada di dekat mereka. Membisiki dan menghembuskan mimpi-mimpi kesempurnaan dan pengakuan intelektualitas mereka. Mengatakan kepada dunia bahwa mereka bukanlah mahasiswa biasa saja, namun mahasiswa yang luar biasa.[]

PENOKOHAN PEREMPUAN DALAM KOMIK

Dunia buku menawarkan kepada kita alternatif-alternatif media yang bisa kita akses secara mudah untuk memuaskan minat baca kita. Media-media buku yang bisa kita akses sangat beragam bentuknya, mulai dari pembagian buku menjadi fiksi dan non fiksi, Koran, majalah, jurnal, komik, dll. Media yang paling menarik dan banyak diakses oleh para generasi muda sekarang ini adalah komik. Komik sangat diminati karena komik menyatukan dunia tulisan dan dunia gambar. Semula yang biasanya kita bebas berimajinasi jika membaca buku maka saat kita membaca komik, imajinasi kita tidak perlu susah-susah kita gambar karena sudah dihidangkan sedemikian rupa oleh para komikus. Hal ini menjadikan komik media yang sangat digemari oleh semua kalangan, mulai dari anak-anak sampai orang dewasa.
Komik yang beredar di Indonesia menurut pengalaman baca saya sebagai pembaca komik, terbagi menjadi dua yaitu komik timur dan komik barat. Cakupan komik timur adalah komik-komik yang dihasilkan dari Negara-negara timur, seperti : Indonesia, Jepang, Korea, Taiwan, dll. Sedangkan komik barat adalah komik yang dihasilkan oleh Negara-negara barat, khususnya amerika.
Dalam dunia perkomikan yang telah saya kenal sejak remaja dulu, tepatnya SMP kelas 1, dunia komik adalah dunia yang berwarna-warna, bentuk dari imajinasi manusia yang tanpa batas. komik menawarkan kepada kita beragam imajinasi yang mungkin tidak kita pikirkan sebelumnya.
Contoh ragam komik yang sudah menjadi budaya massa di masyarakat kita sekarang ini adalah komik-komik keluaran jepang atau yang kita sering menyebutnya manga dan komik amerika terbitan marvel komik. Dalam komik jepang (manga) dan komik amerika beragam cerita disajikan, mulai dari action, drama romantic, detektif, petualangan, superhero, dll.
Bagian komik yang sangat menarik adalah penokohan yang juga ditunjang oleh jalinan cerita yang bagus. Penokohan dalam komik jepang (manga) dan komik amerika kebanyakan menghidangkan imaji tokoh perempuan. Imaji tokoh perempuan ini dibuat sangat berbeda dari dunia nyata, imaji perempuan dibuat sedemikian sempurnanya sehingga kadang ketika kita ingin mencontoh perempuan dalam komik kita harus rela diet ketat, olahraga teratur bahkan operasi plastik.
Tokoh perempuan dalam komik menjadi isu penting untuk dikaji ketika hal ini disinggungkan oleh teori-teori feminis yang sangat semarak sekarang ini. Tokoh perempuan dalam komik selalu digambarkan menjadi tokoh pendamping (sidekick) atau bumbu sedap yang dapat memeriahkan dan menghidupkan suasana komik. Contoh nyata bisa kita lihat dalam komik terkenal spiderman, dalam komik ini diceritakan bahwa spiderman mencintai mary jane sejak dulu karena rumah mereka bersebelahan, namun spiderman tidak sanggup untuk menyatakan cinta karena merasa dirinya lemah dan tidak layak bagi mary jane. Dalam cerita komik spiderman ini kita bisa lihat bahwa tokoh wanita hanya sebagai pemanis, bumbu sedap bagi komik ini sehingga menjadi magnet utama agar pembaca setia dan rutin mengikuti perkembangan komik ini.
Kasus paradoks tokoh perempuan dalam komik banyak ditemukan dalam genre komik pahlawan super (superhero) keluaran amerika. Para tokoh-tokoh perempuan itu selalu bisa kita temukan dalam komik-komik pahlawan super itu, namun fungsi mereka sudah meragukan sejak awal. Bradford Right menyebutkan : “fungsi utama dari kehadiran wanita-wanita (di buku komik dahulu) adalah menolak perasaan cinta dari alter ego pahlawan super, mendambakan sang pahlawan super, berusaha agar dekat dengannya, mengacaukan segalanya, ditangkap penjahat dan menunggu untuk diselamatkan oleh pahlawan super.”
Fungsi dan peran tokoh perempuan dalam komik sudah dimarginalkan sejak awal hingga akhir cerita. Namun, muncullah Wonder Woman, karakter tokoh perempuan yang mengubah semua itu. Wonder Woman diciptakan oleh seorang psikoterapis (ahli kejiwaan) yang peduli tentang marginalisasi gadis-gadis muda dari media buku komik yang sangat populer. Wonder Woman menggabungkan kekuatan dan keterampilan , tenaga dan senjata untuk melengkapi kekuatan mendominasinya. Setelah itu berturut-turut muncul banyak pahlawan super yang lain, seperti : Cat Woman, The Wasp, Elektra, Invisible Girl, dll. Paling tidak komik-komik amerika keluaran marvel komik selalu menyertakan pahlawan super wanita untuk menjadi pelengkap.
Wanita-wanita dalam buku komik banyak sekali digambarkan menyerupai fantasi-fantasi para lelaki. Wanita dalam buku komik selalu memakai kostum ketat, dengan tubuh yang tinggi semampai, dada berisi, wajah cantik, bokong seksi, dan penggambaran sempurna lainnya. Walaupun pada kenyataannya jika kita membayangkan adegan perkelahian pahlawan super wanita sedang berkelahi dengan kostum ketatnya itu mustahil akan menang karena sangat susah berkelahi dengan kostum ketat yang menempel dikulit. Namun, penggambaran tokoh wanita yang seperti itulah yang justru dipertahankan oleh para komikus, strategi penggambaran tokoh wanita seperti itulah yang terbukti disukai oleh para pembaca yang dengan sukarela mengesampingkan kesangsiannya bahwa serangan dan pertahanan yang terbaik adalah selapis tipis kain spandeks.
Sungguh memprihatinkan, ternyata tokoh perempuan dalam komik walaupun sudah mengalami perjuangan sedemikian rupa tetap mendapat porsi superficial. Penggambaran tokoh perempuan perlu mendapat insentif dukungan yang lebih. Apa kita rela imaji keperempuanan kita yang semestinya bisa kita ciptakan dengan lebih baik dirampok habis-habisan oleh para komikus yang berkarya berdasarkan fantasi-fantasi liar mereka yang juga seorang lelaki? Semoga saja tidak.

MEREKONSTRUKSI PEREMPUAN

Perempuan di mata masyarakat umum adalah makhluk yang lemah, butuh perlindungan laki-laki. Sebagian berkata memang itulah garis takdir perempuan, selalu menjadi the second sex. Namun, jika kita melihat kaitan antara perempuan dan distribusi kekuasaan yang mengelilinginya sehari-hari dengan cermat, maka cakrawala pandang kita pun akan berubah.
Cakrawala pandang masyarakat mengenai perempuan sudah sangat lazim bahwa perempuan adalah makhluk yang selalu menjadi korban dan dikorbankan. Bahkan, budaya yang melingkupi kita, baik itu budaya Jawa, China, Arab, dan lain-lain, selalu mewariskan tradisi pemingitan kaum perempuannya supaya memang berada dalam area domestik. Mereka menganggap pembagian distribusi kerja perempuan memang berada di dalam wilayah itu. Tradisi kebudayaan ini dipegang teguh sampai tiba saatnya ada beberapa perempuan yang mendobrak semua itu, mendobrak tradisi kebudayaan yang ada, perempuan mulai mempunyai suaranya sendiri.
Perempuan mempunyai suaranya sendiri ketika perempuan mulai menyadari dan menyuarakan hak-hak mereka tentang kesetaraan yang selama ini tidak mereka peroleh. Perjuangan ini digelontorkan perempuan dengan sebuah gerakan bernama feminisme. Feminisme walaupun sangat berat, tapi selalu diusahakan perempuan manapun di berbagai belahan  dunia. Namun, ketika gerakan perempuan sudah mendapat pengakuan kesetaraan dari lelaki, perempuan menjadi bermakna bias bagi dirinya sendiri.
Pembiasan makna sudah sangat merebak banyak sekali di zaman modern hingga postmodern sekarang ini. Banyak perempuan yang mulai mengalami gegar kesetaraan. Perempuan mulai tersesat atas dasar pengakuan kesetaraan yang diperoleh. Zaman sekarang, zaman di mana budaya massa merebak, para perempuan dengan pengakuan kesetaraannya banyak ditelikung dan dipenjara bias makna perempuan sendiri tanpa disadari.
Budaya massa seperti kita ketahui bersama adalah budaya yang diproduksi massal karena budaya ini sangat laris di pasaran. Asas utama budaya ini adalah asas kapitalistik, di mana asas yang mementingkan keuntungan para pemilik modal sebanyak-banyaknya.
Budaya massa yang sekarang ini banyak menelikung perempuan berasal dan menyerang berbagai lini kehidupan. Budaya massa menyerang tubuh perempuan dari ujung rambut hingga ujung kaki. Bisa kita bayangkan bahwa produk budaya massa yang menyerang perempuan, mulai dari gaya rambut, konsepsi kecantikan yang harus dibayar mahal perempuan dengan sangat ketat menggunakan produk kecantikan kulit hingga ada beberapa yang operasi plastik. Bentuk badan ideal yang harus dipenuhi pun ketika tidak proporsional ada teh herbal pelangsing badan yang bisa digunakan. Sepatu yang perempuan pakai yang selalu berganti mode dari yang terepes hingga yang ber-hak 10 cm. Model baju yang harus selalu mengikuti model terkini).
Perempuan dalam kasus budaya massa ini selalu mendapat posisi korban atau sasaran empuk lingkaran kapitalistik. Bahkan, siaran-siaran dan iklan-iklan di televisi, jalan, pasar ikut mengindoktrinasi perempuan secara kasat mata. Hingga ada suatu pembuktian bahwa indoktrinasi itu berhasil, para perempuan yang mendapat gaji atau mendapat jatah gaji dari suami tidak segan-segan membeli produk-produk massa/ populer, walaupun mereka kadang tidak membutuhkannya. Mereka membeli produk massa karena tuntutan gaya hidup. Di sinilah perempuan menempatkan diri atau tepatnya merelakan diri sebagai korban budaya massa secara sukarela.
Namun, penempatan diri perempuan sebagai korban atas budaya massa yang kapitalistik bisa kita rubah dengan mendekonstruksi cakrawala pandang kita sebagai perempuan. Posisi kita sebagai koban bisa kita rubah menjadi seorang pelaku. Kita perempuan memang sangat sulit meresistensi adanya budaya massa yang ada di sekeliling kita, namun dengan perubahan paradigma bahwa kita sebagai pelaku bukan korban akan membuat kita menjadi lebih bermartabat. Distribusi subyektifitas kekuasaan ini kita rubah sedemikian rupa karena kita memandang budaya massa sebagai alat saja. Contoh , seorang perempuan menerima maraknya budaya massa perawatan kecantikan dengan apa adanya. Bahkan, dia menggunakan teknologi kecantikan tersebut untuk membuat kecantikannya lebih terpancar dan pada akhirnya kehidupannya akan serta merta menjadi mulus. Efek-efek yang timbul akibat terpancarnya kecantikan akan memberi perempuan berbagai keuntungan dalam berbagai lini, sehingga yang pada awalnya kita menganggap diri sebagai korban, malah akan berputar 180 derajad pada waktu singkat dengan perubahan cakrawala pandang kita. Sedikit perubahan cara berpikir membuat perempuan lebih bisa memaknai kehidupannya dan pada akhirnya para perempuan bisa merekonstruksi posisinya menjadi pelaku. 

KARTU KREDIT, KARTU MATI KITA

Kasus-kasus perbankan yang marak akhir-akhir ini membuat kita harus berfikir ulang tentang apa sebetulnya kegunaan kartu kredit? Memang kalau kita menilik dari tingkat sangkil dan mangkus, kartu kredit mempunyai semua kriteria tersebut. Istilah mudahnya, jika kita mempunyai kartu kredit ini tak ubahnya kita mempunyai uang yang tak terbatas dalam genggaman kita. Tapi, ketakterbatasan uang dalam kartu tersebut tidak bisa digunakan semau kita, karena pada akhirnya kita jualah yang nanti akan membayar balik penggunaan uang yang terpakai dalam kartu kredit tersebut, malahan ditambah biaya-biaya lain atas nama biaya penggunaan kartu kredit atau bunga kartu kreditnya.
Meski banyak kasus yang sudah terpapar dalam berita-berita mengenai malpraktek ataupun dampak penggunaaan kartu kredit yang melampau batas sehingga banyak orang terjerat hutang. Pengiklanan kartu kredit sepertinya tidak hendak mati atau dihapuskan. Pengiklanan agar masyarakat berbondong-bondong memakai kartu kredit semakin subur dan mengganas. Hal ini terbukti dalam ruang-ruang iklan yang ada di koran-koran, majalah-majalah ataupun tabloid-tabloid di Indonesia. Kebanyakan iklan menghadirkan penawaran-penawaran menggiurkan yang bisa didapat masyarakat jika menggunakan kartu kredit. Penawaran-penawaran tersebut meliputi mendapat potongan harga di berbagai gerai tempat kuliner, bengkel, toko kue, butik ternama hingga hadiah langsung berupa barang maupun uang. Semakin banyak menggunakan fasilitas yang ada di dalam kartu kredit, berlimpah pula hadiah dan bonus yang akan didapat pengguna.
Sebenarnya jika ditelusur lebih dalam, pembuatan kartu kredit itu gampang-gampang susah, bisa dibilang seperti membuat KTP di kelurahan. Hal terpenting yang harus dipenuhi tentu saja para pengaju kartu kredit harus siap mengisi formulir aplikasi kartu kredit dan materai untuk membubuhi kadar hukum kartu kredit tersebut. Namun, malangnya kebanyakan para pengaju kartu kredit sepertinya tidak membaca petunjuk pembuatan kartu kredit secara saksama dan hati-hati. Para pengaju istilahnya hanya asal mengisi formulir aplikasi tadi, bahkan memanipulasi beberapa informasi, khususnya informasi mengenai jumlah pendapatan sebulan guna mudah mendapat kartu kredit tersebut. Masyarakat yang memanipulasi infomasi dalam formulir aplikasi pembuatan kartu kredit tidak berpikir ke depan bahwa kartu kredit tersebut malah nantinya bisa menjadi bumerang bagi mereka.
Kasus Irzen Octa bisa menjadi bahan pelajaran bagi kita. Irzen Octa diduga meninggal karena dianiya oleh penagih hutang karena mempunyai masalah tunggakan kartu kredit di Citibank. Melihat kasus Irzen Octa tersebut hendaknya bisa memberi pelajaran bagi kita, bahwa pembuatan dan penggunaan kartu kredit itu memang sah-sah saja, namun jika penggunaannya tidak terkontrol malah akan jadi kartu mati bagi kita sendiri.
Efek baik sebenarnya bisa juga kita dapatkan dari kartu kredit tersebut jika penggunaannya tidak menyimpang. Hal itu dibuktikan oleh ibu X yang tidak lama kemarin diwawancarai oleh salah satu stasiun televisi nasional mengenai laku hidupnya yang banyak memanfaatkan kartu kredit dan belum pernah mendapatkan kesulitan dari penggunaan kartu kredit tersebut. Bahkan tak tanggung-tanggung, ibu X tersebut mempunyai 21 macam kartu kredit yang berasal dari bank nasional maupun internasional. Ibu X mengaku bahwa menggunakan jasa kartu kredit memang gampang-gampang susah, namun hal yang terpenting adalah menggunakan kartu kredit sesuai isi kantong atau pendapatan kita dan mendokumentasikan pengeluaran kita dengan kartu kredit secara cermat dan teliti. Hal ini untuk meng-kroscek ulang laporan tagihan kartu kredit setiap bulan dengan bukti di lapangan di saat kita menggunakan kartu kredit tersebut. Pembayaran kartu kredit tersebut juga hendaknya tunai karena jika pembayarannya menggunakan mode dicicil akan mendapat bunga yang sangat tinggi.
Laku penggunaan kartu kredit ini menurut George Ritzer merunut pada fenomena globalisasi. Ritzer memaparkan fenomena globalisasi ditandai dengan adanya ekspansi pasar dan eskalasi perilaku konsumtif di berbagai bidang kehidupan. Dalam perkembangan masyarakat kapitalis  dari tahap awal (early capitalism) ke tahap lanjut (advanced capitalism) ditandai dengan perubahan pertumbuhan ekonomi, dari berbasis produksi (mode of production) menuju petumbuhan ekonomi berbasis konsumsi (mode of consumption). Konsekuensi dari model ekonomi kapitalis tahap lanjut tersebut adalah masyarakat didorong untuk mengkonsumsi produk-produk industri dalam rangka mempertahankan tingkat pertumbuhan ekonomi.
Ritzer menyebutkan juga bahwa fenomena globalisasi adalah globalisasi kehampaan yang berkaitan dengan dunia konsumsi yang bermutasi sedemikian rupa. Dalam tingkat perkembangan ini pula, laku dunia konsumsi dilancarkan dengan adanya sarana alat pembayaran canggih. Ini tak lain tak bukan adalah kartu kredit. Ekspansi kartu modern di Indonesia terjadi pada tahun 2000. Bahkan, menurut Asosiasi Kartu Kredit Indonesia (AKKI) pada tahun 2004 pengguna kartu kredit di Indonesia mencapai 4,8 juta dan diperkirakan semakin tahun akan semakin meningkat jumlahnya hingga 2011 ini.
Kartu kredit, yang istilah populernya adalah uang plastik jika sudah ada dalam genggaman seseorang dan telah diaktifkan secara online bisa digunakan untuk berhutang ria. Rata-rata klasifikasi kartu kredit ada 3 macam, pertama: kartu kredit silver yang mempunyai jangkauan dana hutang sebesar 4 juta, kedua: kartu kredit gold yang mempunyai jangkauan dana hutang sebesar 10 juta, dan yang ketiga: kartu kredit platinum yang mempunyai jangkauan dana hutang sebesar hingga 50 juta. Jadi tidak salah kalau ada opini kartu kredit merupakan “pelumas” bagi kelangsungan hidup kapitalis global yang memproduksi kehampaan seperti yang ditekankan Ritzer.
Ironi juga ternyata selalu membayangi kartu kredit karena jika anda mempunyai kartu kredit maka anda akan dengan mudah terjangkit penyakit ekstase belanja dan  terperangkap dalam libido ekonomi dari membeli barang-barang berbagai komoditi yang ditawarkan oleh miniatur dunia mal-mal, paket wisata, toko-toko, hiburan virtual, dan lain-lain.
Hal ini juga mensinyalir bahwa kehadiran kartu kredit di tengah-tengah masyarakat kita telah meningkatkan kekuatan belanja bagi pemiliknya. Seseorang juga dapat berbelanja melebihi pendapatannya setiap bulan karena pembayarannya dengan kartu kredit, asal membayar iuran kartu kredit dan bunga keterlambatan. Ini logika yang juga mendasari praktek rentenir, interest forever and capital never, beli apa saja silahkan, yang penting bunganya dibayar, pinjaman pokoknya nanti-nanti sajalah.
Memahami dengan seksama dan secermat-cermatnya produk perbankan yang mengalami pertumbuhan pesat wajiblah kita lakukan. Jangan sampai kartu kredit malah menjadi kartu mati kita.

BUKU: SEBUAH KEKUATAN IMAJINASI

Kehadiran buku di tengah-tengah kita selalu memberi warna tersendiri, terlebih lagi mereka yang memang mencintai dan selalu menyempatkan diri membaca buku di setiap kesempatan luang. Menurut anggapan kebanyakan orang, membaca buku adalah hal yang membosankan dan tidak menantang sama sekali. Bahkan, kehadiran deretan buku yang tebal maupun tipis dapat  membuat pening kepala. Buku ditengarai akrab hanya sebatas tuntutan formal pendidikan, yang kadang mewajibkan membeli buku tertentu. Walaupun, pada akhirnya nasib buku akan menjadi pengganjal kepala saat tidur atau sebagai benda pajangan intelektual yang bisa mengisyaratkan tipikal si pemilik yang citranya bermental pintar, cerdas, cerdik, dan cendikia.
Anggapan masyarakat tentang buku yang demikian agaknya menjadi kesalahan yang terus dipelihara hingga sekarang. Kesalahan ini diduga karena masyarakat Indonesia menurut sejarahnya mengidap gegar teknologi yang bertubi-tubi. Masyarakat Indonesia sebelum memasuki peradaban televisi, belum sepenuhnya mapan dalam situasi kultur membaca. Sehingga, ketika peradaban televisi masuk ke Indonesia masyarakat seperti terlupa tentang kultur membaca buku. Hal ini berlainan sekali dengan masyarakat Eropa. Di sana fase teknologi datang dengan interval jarak kehadiran yang tidak beruntun. Sehingga, masyarakat Eropa sebelum memasuki peradaban televisi, diawali dulu dengan peradaban membaca yang menjadi sebuah kultur di sana, dari masyarakat lapis bawah sampai atas. Sehingga, hal ini bisa kita simpulkan bahwa buku mempunyai peran penting di sana.
Persentuhan Pertama
Ketika mengingat kembali masa lampau mengenai persentuhan pertama saya dengan buku, saya menggolongkan persentuhan ini ke dalam persentuhan yang terlambat. Jika persentuhan saya lebih cepat, seperti layaknya riwayat-riwayat hidup orang besar yang sudah menyentuh buku pada usia-usia dini, mungkin saya tidak akan merasa serugi ini. Saya merasa rugi karena saya menyadari bahwa buku adalah sebuah pengantar ke dalam berbagai imajinasi, dari jinak hingga liar, serta setiap persentuhan-persentuhan dengan buku selalu meninggalkan bekas indah dalam ingatan.
Saya ingat sekali persentuhan saya dengan buku adalah ketika saya berada di kelas 2 sekolah menengah pertama. Dalam masa-masa tersebut teman akrab saya mengenalkan saya dengan buku bacaan bergambar (komik) yang lucu, temanya pun beragam mulai dari cinta, perang, legenda, humor, dan lain-lain. Setelah perkenalan dengan komik tersebut, saya merasakan bahwa dunia di sekeliling saya berubah menjadi berbagai warna. Cara pandang saya pun berubah. Selanjutnya, persentuhan saya mengalami fase yang lebih tinggi, saya diperkenalkan dengan buku kelas dunia, yaitu Harry Potter. Awalnya, saya sangat mencibir dan menghina sekali teman saya yang sangat suka buku Harry Potter yang tebal. Namun, karena paksaan dan rasa penasaran saya, kenapa buku Harry Potter banyak disukai teman. Maka, saya pun menantang diri untuk membaca buku tersebut. Tak dinyana, ternyata saya khatam buku Harry Potter hanya dalam satu malam. Saya merasakan perasaan yang lebih campur aduk ketika membaca buku Harry Potter dibanding ketika saya selesai membaca komik. Sejak saat itu, saya menyukai sensasi imajinasi yang tumbuh dalam diri saya ketika membaca buku fiksi, Hal itu pula yang membuat saya kemudian mulai merambah buku-buku fiksi yang lain. Saya bahkan mulai saat itu rajin mengunjungi perpustakaan sekolah kala istirahat, pukul sembilan pagi dan dua belas siang. Buku menjadi agen pengantar dunia dan pengaktif bagian-bagian otak yang terdiam sekian lama.
Pengantar Kekuatan Imajinasi
Semakin saya bertumbuh, semakin saya sadar dan yakin bahwa buku bukanlah hanya sekadar buku yang terdiri dari kertas-kertas. Makna buku melebihi sajian fisik yang terpapar selama ini. Buku merupakan kekuatan terpendam yang harus diaktifkan melalui pembacaan berkala. Hal ini seperti diungkapkan dalam sebuah novel yang berjudul Libri di Luca karya Mikkel Birkegaard, sebuah novel tentang perkumpulan rahasia pecinta buku.
Novel ini bercerita mengenai orang-orang yang memiliki kekuatan istimewa untuk memengaruhi pikiran dan perasaan orang lain saat mereka membaca buku. Orang-orang tersebut bukanlah penulis dari buku yang sedang mereka baca, melainkan para lektor (anggota perkumpulan rahasia pecinta buku). Lektor adalah sesuatu yang dilahirkan pada diri seseorang, bukan sesuatu yang bisa dipelajari atau bahkan diinginkan. Di tangan pembacaan para Lektor, buku bisa menggoda kita dengan cerita dengan imajinasi yang mengagumkan, menjadikan dunia yang ada di dalam buku terasa begitu nyata. Namun, para Lektor juga bisa menjerumuskan kita untuk memikirkan apapun yang mereka inginkan. Di tangan mereka, buku bisa menjadi senjata.
Kutipan yang paling menarik dalam Libri di Luca, “Buku tidak mempunyai arti tanpa pembaca. Namun, ketika semua orang di sekelilingmu mulai membaca, semua kata-kata dan kalimat bertebangan di udara seperti butiran salju di badai salu. Mereka akan bercampur baur, menyatu dalam kalimat yang tidak bisa dimengerti, kemudian berpisah dan menyatu dalam kata-kata dan kalimat baru yang akan membuat gila jika mencoba menemukan artinya.” Selanjutnya, “Tulisan tanpa pembaca tidak bisa berbicara. Dibutuhkan seorang pembaca dan tulisan itu akan berbicara. Tulisan-tulisan itu akan menyanyi, berbisik, bahkan berteriak.”
Sungguh kehadiran sebuah buku adalah manifestasi kekuatan imajinasi untuk manusia-manusia yang ingin mempergunakannya dan mengambil manfaat darinya. Lalu, bagian manusia apakah kita? Mempergunakan dan mengambil manfaat buku atau membiarkan buku tergeletak dan terluka?, entahlah.[]

MERENUNG DARI KONSTRUKSI JALAN

Jalan adalah bagian dari pembangunan modernisasi, yang kita tidak bisa terlepas darinya. Jalan ada di mana-mana, bahkan menjadi bagian dari hidup kita. Jalan pun terbagi menjadi dua, jalan dalam arti metafora dan jalan dalam arti denotasi. Ketika kita berusaha mengingat atau memanggil kembali memori-memori masa kecil tentang jalan zaman dulu, jalan adalah bagian tak terpisahkan dari cerita-cerita yang keluar dari mulut kecil kita kepada ibunda. Ingatkah betapa senangnya kita menemukan jalan pulang ke rumah karena kita mendengarkan petunjuk-petunjuk dari ibu ketika kita memaksa pergi dan pulang sekolah dengan berjalan kaki sendiri? Ingatkah kita yang dulu masih kecil dan polos sangat tertegun ketika kita menemukan dunia yang baru, mengetahui hal baru dan mengamati hal baru dalam perjalanan pergi ke atau pulang dari sekolah dengan berjalan kaki?
Betapa kepolosan masa kanak-kanak membuat kita kadang lebih mengerti kebermaknaan hidup dari jalan. Kebermaknaan itu mungkin secara tidak sadar terkonstruksi dalam alam pikiran kita: cara kita berjalan melalui jalan sempit atau menyapa mbah-mbah yang pagi-pagi sudah menyapu halaman rumah. Kita memberi sapaan pun kadang dalam situasi kita belum mengenal mbah-mbah atau ibu-ibu yang menyapu halaman rumahnya itu. Sapaan kecil meleburkan kegengsian dan membuat kita dipanggil oleh mbah-mbah tadi. Kita pasti akan ditanya siapa ayah dan ibu kita. Mereka juga pasti akan mengonfirmasi, apakah mereka kenal ayah dan ibu kita. Sebuah hubungan kolektif terjalin dari sapaan kecil saat melewati jalan sempit. Saat kita kemudian meneruskan perjalanan menuju sekolah, rasa senang dalam mengamati kegiatan orang-orang yang rumahnya di samping jalan, yang kita lewati, menjadi keasyikan tersendiri. Pengamatan dari seorang anak kecil tentu saja masih menggunakan tafsiran-tafsiran yang dangkal, namun tafsiran-tafsiran itu memberi stimulus-stimulus bagi otak dan rasa keingintahuan yang membludak. Jalan memberi kita semua itu tanpa kita sadari. Jalan memberi kita jawaban atau rangsangan-rangsangan pertanyaan tentang hidup itu sendiri.
Pada situasi sekarang, kita sebagai manusia yang sok modern telah banyak lupa tentang kebermaknaan hal-hal di sekitar kita, terutama jalan. Jalan adalah konstruksi bangunan modern yang telah mengalami proses lama dalam perubahan zaman. Jalan biasanya hanya dianggap sebagai sarana transportasi yang dilewati bis, sepeda motor, mobil, delman, becak, yang bisa menembus makna budaya kolektif antar generasi. Bahkan, mempunyai nilai-nilai kearifan humanis. Dahulu jalan adalah milik bersama, tapi sekarang jalan menjadi milik negara.
Mbah-mbah dan ibu-ibu yang dulu pagi-pagi sudah menyapu jalan sekarang hampir sulit kita jumpai lagi. Namun, jika kita masih menemukannya, kita akan menemukan fenomena itu dipelosok-pelosok desa. Fenomena itu pada hakikatnya sudah punah di kota. Nalar keseharian kita yang selalu menggunakan jalan terhapus rasa humanismenya karena kita tidak bersentuhan langsung dengan jalan. Kebanyakan dari kita lebih memilih naik mobil, sepeda motor, bis atau yang lain ketika melewati sebuah jalan. Jalan pun kini sudah berevolusi menjadi jalan yang beraspal. Jalan yang beraspal menggiring kita pada konstruksi nalar politik dan  ekonomi. Jalan bagi kita berubah bentuk menjadi komoditi yang merepresentasikan kemakmuran dan kelancaran arus ekonomi. Bahkan mulusnya jalan raya yang beraspal banyak sekali menjadi program kerja para calon aparatur negara.
Kita manusia sering dan memang banyak melupa. Jalan sebenarnya bisa menjadi sebuah refleksi hidup dan melatih kepekaan kita dalam melihat sisi panggung hidup seorang manusia sebenarnya yang banyak terjadi di jalan. Jalan, alih-alih, juga memberi kita label status dalam masyarakat. Imajinasikan saja ketika kita bertanya kepada teman di daerah manakah dia tinggal, maka kita pasti akan mereka-reka kehidupan seperti apa yang dia tinggali. Jika dia tinggalnya di daerah yang banyak jalan sempitnya,  maka imajinasi kita pasti akan terbang ke daerah permukiman kumuh, hunian bagi kalangan menengah ke bawah yang tempat tinggalnya berdesak-desakan, langganan banjir ketika musim hujan. Lain halnya ketika teman kita berkata bahwa dia tinggal di daerah jalan Cendana, maka pikiran kita pasti akan melayang menuju imaji-imaji rumah mewah bertingkat dua atau lebih, garasi yang lebar dan banyak mobil terbaru yang diparkir, infrastruktur bangunan yang bagus, rapi nan indah, taman yang luas. Jalan memberi stigmatisasi terhadap kita mengenai status kita sebagai manusia.
Pemaknaan jalan bagi manusia memang beragam, ada yang mengambil pemaknaan melalui jalan politik, filsafat, ekonomi, budaya, sosial. Pemaknaan yang beragam itu pula dapat kita renungi: mau kita ambil jalan mana dan seperti apa bagi hidup kita? Selanjutnya, kita hanya bisa menyikapi dan menerapkan arti-arti implisit itu yang pas dalam hidup kita. Mengutip pernyataan Nietzsche dalam bukunya Zarathustra, “tapi engkau ingin menempuh jalan kesakitanmu, yakni jalan menuju dirimu sendiri? Bila begitu perlihatkan padaku kekuatan dirimu menghadapinya (jalan nafsu dan ambisi, nafsu kemasyuran, gejolak ambisi) dan hakmu atas dia”.

Pendidikan Gender untuk Mahasiswa

“Seorang terpelajar harus juga belajar berlaku adil sudah sejak dalam pikiran, apalagi perbuatan”¾Pramodya Ananta Toer.

Kutipan yang dikatakan Jean Marais kepada  Minke dalam novel sejarah Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer  itu menggugah dan menggugat saya. Terutama, saat saya melihat realitas kehidupan kampus yang menjadi corong dan pabrik pembentukan kaum terpelajar di Indonesia. Kampus seharusnya mendidik dan membiasakan mahasiswa untuk berlaku adil sudah sejak dalam pikiran.

Tapi, anehnya, tidak ada mata kuliah yang khusus tentang pendidikan gender atau feminisme, baik sebagai mata kuliah umum atau pilihan. Memang di beberapa jurusan sudah mengajarakan tentang pemikiran feminisme dan diskursus gender seperti jurusan sastra dan jurusan sosiologi. Sungguh sangat minim mengingat satu universitas memiliki banyak jurusan. Ini bisa menggagalkan proyek keadilan terutama terhadap perempuan. Tragisnya, kegagalan itu dilakukan oleh sebuah lembaga pendidikan, yang seharusnya mengajarkan dan membumikan keadilan. Ini sungguh sebuah ironi.

Gugatan

Kenyataan tragis itu semakin menggugat saya, tatkala membentangkan informasi ada selama ini. Perjuangan emansipasi perempuan sudah menjadi diktum tak terbantahkan selama lebih dari satu abad ini. Ia menjadi faktor konstitutif peradaban modern. “Bukan saja karena teoretisasinya berhasil menggoyahkan legitimasi ilmu sosial modern, tetapi juga advokasinya telah menghasilkan dokumen-dokumen internasional yang mengikat Negara-negara beradab” (Rocky Gerung, Jurnal Perempuan, edisi 64).

Pemikiran feminisme atau diskursus gender dengan telak telah banyak menggugat kemapanan ilmu pengetahuan selama ini yang seksis, diskrimintif, dan opresif terhadap perempuan. Buku tipis karya Arif Budiman, Pembagian Kerja Secara Seksual (1985) membuktikan semua itu. Buku ini berhasil membuktikan ketidakadilan cara berpikir ilmu pengetahuan yang selama ini kita punya. Bahkan buku ini memaparkan pemikiran-pemikiran psikoanalisa, teori fungsionalis, dan faktor-faktor kebudayaan yang diskriminatif terhadap perempuan. Sedikit contoh konkrit, mahasiswa sebagai kaum terpelajar masih dijajah dengan pemikiran diskriminatif dan seksis saat ada perempuan yang masuk jurusan permesinan. Beberapa jurusan seperti dikhususkan untuk perempuan atau laki-laki dengan alasan perkelaminan.

Kita tahu, pemikiran feminisme atau diskursus gender sama dengan keadilan dan emansipasi. Tentu, sebagai konsekuensi logis, semua jurusan di universitas harus memberikan mata kuliah ini. Adalah naïf jika kita berkoar untuk mendidik mahasiswa menjadi kaum terpelajar jika mata kuliah ini tidak diajarkan. Adalah lucu mengingat gugatan feminisme telah menggarisbawahi sebuah arah politik yang radikal yang melampaui ras, identitas, dan nasionalitas, tapi universitas masih berdiam diri. Bukankah jadi lucu jika separuh umat manusia masih dinomorduakan oleh separuh yang lain, tapi universitas masih termangu-mangu.    

Kewajiban
Maka, tempat terbaik dalam mengubah semua itu adalah di dunia ilmu, yang di dalamnya terdapat generasi intelektual (terpelajar) mendapatkan ilmu pengetahuan. Dunia ilmu yang sangat tepat jika ditilik pada sumber nilainya adalah di kalangan kampus (universitas).

Posisi kesetaraan gender yang timpang antara laki-laki dan perempuan sekarang ini mengalami masa-masa kritisnya. Pendidikan gender yang seharusnya sudah tersebar luas dan difahami betul oleh kaum intelektual dari kalangan kampus ternyata masih tidak bisa membendung praksis-praksis ketidakadilan gender di dalam kehidupan bermasyarakat.

Jika kita menilik lebih dalam di lingkungan kampus, program-program pendidikan gender akan ada hanya di universitas-universitas yang membuka program studi kajian perempuan, sedangkan di program studi lain kita tidak akan bisa menemukannya. Hal yang sangat aneh, karena jika kita ingin kesetaraan gender ini bisa terealisasi dengan baik di lingkungan masyarakat, kita harus memulai pendidikan ini sejak dini, minimal pendidikan gender ini diberikan di kampus.

Pengenalan konsep gender  memang tidak semudah membalik telapak tangan, terlebih lagi di kampus. Pendidikan gender yang secara otomatis akan dikaitkan dengan gerakan-gerakan feminis akan sangat sulit sekali masuk ke kurikulum kampus (akademis). Hal ini dikarenakan ilmu-ilmu tradisional mempunyai tendensi untuk mendiskreditkan posisi dan aspirasi perempuan, ini semua juga berakar secara kuat  pada epistemologi modern yang menopangnya, seperti kata De Vaulth: “Jantung metodologi feminis adalah bahwa aparat produksi ilmu telah mengonstruksi dan melanggengkan penindasan terhadap perempuan.”

Konsep gender di universitas agaknya memang masih dipandang sebelah mata oleh beberapa kalangan. Menurut Rocky Gerung, hal ini dikarenakan oleh tiga hal. Pertama, konsep gender dipandang sebagai “keanehan akademis”, oleh mereka yang belum cukup kuat berpikir dalam kerangka epistemologi baru. Kedua, konsep gender dipandang sebagai “barang impor dari Barat” bagi mereka yang antipati terhadap transmisi pemikiran global. Ketiga, konsep gender sudah divonis sebagai “ajaran sesat” oleh mereka yang berpikir dalam kerangka keyakinan agamis. Sehingga universitas seperti ajang dalam mempertandingkan konsep.

Pada akhirnya, kita juga harus mengembalikan semua itu kepada universitas sendiri. Universitas yang berperan sebagai oase peradaban harus berpartisipasi aktif dalam mendorong wacana politik gender karena ini adalah kemestian historis yang mendesak. Jika universitas bersedia turut andil dalam perealisasian konsep gender ini maka universitas juga berperan dalam menciptakan keadilan di dalam masyarakat. Syukur-syukur hal ini bisa terwujud di tingkat lokal hingga nasional. Amin.

Kampus, Masihkah Memiliki Spirit Keilmuan?

Merujuk pada jejak historis Yunani mengenai asal usul keilmuan yang pertama dikenal oleh manusia, sekitar abad ke-5 sebelum masehi, ada sebuah perdebatan mengenai teori ilmu pengetahuan (epistemologi). Para sofis mempertanyakan tentang kebenaran yang bisa dipegang dan obyek dari ilmu pengetahuan itu sendiri. Gorgias membantah bahwa tidak ada sesuatu pun yang benar-benar ada, jika sesuatu itu ada maka sesuatu itu tidak dapat dikenal dan jika ilmu pengetahuan itu memungkinkan, hal ini tidak dapat dikomunikasikan. Protagoras mengungkapkan bahwa tidak ada pendapat yang lebih benar dari pada yang lain karena seseorang berpendapat berdasarkan pengalaman-pengalaman hidup mereka masing-masing. Plato juga berpendapat, mengikuti ajaran dari gurunya, Sokrates. Dia mencoba menjawab pertanyaan para sofis dengan berhipotesa bahwa keberadaan dunia yang tidak berubah dan dengan bentuk yang tidak terlihat (ide) tentang bagaimana hal ini mungkin menjadi ilmu pengetahuan yang benar dan pasti.
Pada era abad ke-21 ini, pembelajaran manusia untuk mendapat ilmu diatur dalam sebuah sistem pendidikan. Sistem pendidikan di tiap negara hampir sama, hanya mungkin istilah-istilahnya saja yang berbeda. Sistem pendidikan manusia itu tertuang dengan diselenggarakannya pendidikan secara berjenjang. Atmosfir atau suasana pencarian keilmuan dari tiap jenjang pendidikan tentu saja sangat berbeda. Hal ini juga disebabkan oleh konteks ruang dan waktu yang sangat mempengaruhi para generasi pencari ilmu. Mungkin dapat dikatakan bahwa jenjang pendidikan yang menjadi pusat pencarian ilmu sebanyak-banyaknya adalah di universitas. Pada saat kita berada di universitas, umur kita paling tidak sudah dewasa sehingga dapat menyerap ilmu pengetahuan secara maksimal.  Ditambah lagi, masa muda adalah masa emas di mana semua organ dalam tubuh kita, khususnya otak bekerja pada masa gemilangnya.
Di Indonesia, masalah keilmuan di kampus bisa dikatakan sudah terjadi disorientasi. Ukuran keilmuan di kalangan akademisi mengalami orientasi yang melenceng jauh. Alih-alih para mahasiswa yang seharusnya dimasukkan dalam atmosfir belajar yang kondusif dan nyaman malah dianalogikan sebagai robot kampus. Hal ini bisa kita lihat dengan aktivitas para mahasiswa yang masuk kampus mempunyai beban memenuhi sekian SKS untuk bisa lulus. SKS per semesternya juga ternyata sudah dipaket oleh universitas berdasarkan kurikulum terbaru yang berdasarkan kompetensi. Tujuan para mahasiswa yang kuliah di kampus tidak lagi mendapat ilmu sebanyak-banyaknya, tetapi dapat lulus semua mata kuliah dengan nilai yang bagus dan mengurangi beban SKS.
Menilik lebih dalam mengenai kondisi perkuliahan di kampus, maka akan membuat kita semakin prihatin mengenai kondisi keilmuan di negeri kita. Kondisi keilmuan yang sepihak saja seperti halnya mendengar khotbah dosen hanya membuat keilmuan kita mandek. Keilmuan kita tidak berkembang karena mahasiswa hanya menyantap apa yang diberikan dosen, bahkan para mahasiswa itu malas untuk mengembangkan ilmu di luar kampus. Kultur tanya-jawab juga belum bisa terbentuk dan menjadi kebiasaan sama sekali. Anehnya, ketika ada satu dua mahasiswa yang berjiwa kritis dan bertanya kepada dosen, teman-teman mahasiswa yang lain bukannya berterima kasih karena keilmuan mereka akan bertambah, tapi sebaliknya mereka kadang sinis dan mengejek mahasiswa yang bertanya tersebut. Mereka menganggap bahwa pertanyaan temannya itu tidak penting dan hanya akan  membuat mereka terperangkap dalam ruang kelas lebih lama, padahal mereka sudah ingin cepat-cepat nongkrong di kantin kampus.
Kultur diskusi dan membaca dalam ruang kampus pun menjadi fenomena langka. Ketika dosen memberi mereka tugas, tugas-tugas tersebut dikerjakan berdasarkan konsultasi dengan internet terutama google.com. Bagi mereka, tugas itu adalah masalah sepele. Mereka  hanya melakukan copy  and paste bahan dari internet. Sedangkan ketika tugas ini adalah tugas kelompok, para mahasiswa yang mengerjakan tugas tersebut bukan semuanya, tapi malah mahasiswa tertentu yang rajin dan mahasiswa yang lain hanya ikut nama. Dalam kultur membaca pun para mahasiswa di kampus seakan tidak bergairah. Bacaan buku mereka tidak banyak. Mereka hanya tahu membaca buku-buku bahan kuliah dosen, itu saja yang sudah diringkas sehingga yang terpenting bagi mereka, mereka tahu inti dari mata kuliah dosen.
Sungguh sangat memprihatinkan, ternyata kondisi keilmuan di kampus mengalami disorientasi atau pergeseran yang sangat radikal. Kuliah tidak lagi mencari ilmu yang bermanfaat bagi kehidupan diri sendiri maupun orang lain, tapi malah bertujuan untuk mendapat nilai bagus guna  akhirnya nanti setelah lulus dari kampus mudah mendapat pekerjaan. Terlebih lagi program CDC (Career Development Center) sekarang sudah banyak digelontorkan oleh pihak universitas. Universitas yang seharusnya menjadi duta penting dalam mengembangkan keilmuan di kampus malah menjadi antek-antek pemilik modal, menyediakan tenaga kerja untuk perusahaan-perusahaan yan tergabung dalam CDC universitas. Para mahasiswa pun tidak lagi berfikir mengembangkan ilmu sesuai bidang mereka.

MAGIS (YANG) HILANG

Hidup manusia, kata orang Jawa, hanya mampir ngombe. Namun, waktu mampir ngombe yang sekejap ini membuat manusia menjadi benar-benar manusia, manusia seutuhnya. Bahkan, bisa dibilang dalam hidup manusia yang sekejap itu ada hal magis, yang membuatnya tidak hanya sekadar hidup, tapi hidup yang magis.
Dahulu kala, menurut cerita ilmiah, konstruksi hidup manusia didahului oleh pembentukan manusia itu sendiri yang mengalami fase panjang dalam evolusi. Berdasarkan pendapat ilmuwan biologi terkemuka, Charles Darwin, manusia adalah evolusi dari kera yang berjalan tegak karena proses waktu yang panjang. Evolusi ini juga didukung oleh hasil penelitiannya yang lain di Pulau Galapagos, yang menambahi pula bahwa suatu makhluk yang hidup sampai sekarang adalah makhluk pilihan karena makhluk yang hidup telah lolos dari seleksi alam. Manusia termasuk ke dalam makhluk yang lolos seleksi alam ini. Berdasarkan hal ini pula, dinyatakan juga bahwa manusia bisa lolos seleksi alam karena memiliki akal pikiran, sedangkan makhluk-makhluk yang lain tidak.
Setelah proses evolusi manusia memasuki zaman pra-sejarah. Di sini manusia hidup hanya untuk tujuan mempertahankan diri dan memenuhi kebutuhan pangannya. Karena hal itulah, manusia sedikit demi sedikit tahu akan kegunaan benda-benda di alam sekitarnya. Manusia juga mulai mempelajari benda-benda apa yang bisa dimakan, yang bisa diminum, yang berbahaya, yang aneh. Manusia pun mulai bertanya-tanya tentang ini dan itu. Kenapa ikan kalau dibakar lebih enak, kenapa hujan turun, kenapa salju turun, kenapa ada matahari, dan lain sebagainya.  Di sinilah terjadi fase perkembangan akal pikiran bagi manusia. Lambat laun manusia bisa mengidentifikasi hal-hal yang berguna bagi mereka ataupun yang tidak. Mereka juga mulai membuat api, berburu binatang untuk dimakan, membuat rumah, berpindah-pindah ke tempat yang mempunyai sumber makanan yang banyak. Hal-hal dan pengalaman-pengalaman inilah yang mendasari, membentuk, dan mengonstruksi hidup manusia menjadi magis, manusia yang hidup sebagai manusia seutuhnya. Hal-hal atau perilaku tersebut kemudian dinamakan dan diidentifikasi sebagai perilaku manusiawi, perilaku yang bersifat kemanusiaan. Sehingga perilaku manusiawi adalah magis manusia.
Ditilik dari keadaan zaman sekarang, manusia sudah bisa dikatakan tidak manusiawi lagi dan tentu saja tidak magis lagi. Manusia sekarang seperti robot yang menjalani ritus keseharian tanpa ada rasa yang muncul, yang ada hanya kebingungan rasa. Kita bisa mengecek hal ini dengan menyuruh satu per satu orang untuk bercerita tentang kehidupan keseharian mereka. Hasilnya, kebanyakan dari mereka pasti bungkam dan tidak bisa menceritakan apa-apa kecuali jawaban klise: “Ya, saya melakukan hal yang sama setiap hari.” Sungguh memilukan! Manusia terjangkit virus alienasi terhadap diri sendiri, manusia menjadi makhluk yang diperbudak oleh ritus keseharian. Parahnya lagi, ritus keseharian manusia sekarang tidak manusiawi lagi, tapi semuanya bersifat mekanisasi dan mesinisasi. Manusia juga dihajar oleh jargon efektif dan efisien, yang notabene telah menghilangkan hal magis kemanusiaan dalam diri manusia.
Kita bisa menengok sebentar ke dalam kehidupan seorang ibu rumah tangga yang bisa menjadi contoh sederhana. Setiap harinya ibu rumah tangga tidak melakukan kewajibannya sebagaimana mestinya. Mungkin secara penglihatan mata ibu rumah tangga telah melakukan pekerjaannya, seperti mencuci, memasak, menyapu, dan lain-lain. Tapi secara manusiawi, ibu rumah tangga tersebut tidak melakukan apa-apa karena pekerjaannya sudah dikerjakan oleh mesin. Mau mencuci ada mesin cuci, mau memasak ada kompor gas, mau menyapu ada vacuum cleaner. Dengan hal ini, magis dalam diri manusia sedikit demi sedikit telah hilang. Manusia hidup tidak dengan ruh manusia itu sendiri, tapi ruh mesin. Jiwa manusia kosong karena ruhnya digantikan oleh mesin. Hidup manusia diperbudak oleh mesin.
Berbicara tentang hal magis yang nyata mungkin kita tidak bisa terlepas dari sosok Mbah Maridjan, juru kunci Gunung Merapi. Mbah Maridjan adalah contoh nyata representasi manusia magis. Persuratkabaran nasional bahkan sudah mengeksploitasi kemagisan Mbah Maridjan itu. Ia dijadikan objek arus informasi, tapi pada akhirnya dapat menyelamatkan diri dengan menginsafi diri kembali menjadi diri yang dulu. Mbah Maridjan, seorang figur manusia Jawa yang mempunyai pemikiran magis. Kita semua tahu bahwa pada saat Gunung Merapi meletus, Mbah Maridjan menolak untuk dievakuasi. Alih-alih dievakuasi, Mbah Maridjan ditemukan mati dalam keadaan bersujud di rumahnya.
Hal yang nyata sudah terbukti bahwa manusia Jawa adalah manusia magis. Magis di sini terpancar karena ilmu titen dan batin yang kuat merasai kehidupan. Sungguh, Mbah Maridjan adalah kemagisan (yang) hilang. Dari cerita sederhana seorang Mbah Maridjan, kita bisa menarik garis untuk juga menjadi manusia yang magis dengan menjadi manusia yang manusiawi kembali. Teknologi memang bertujuan untuk memudahkan manusia, tapi bukan berarti menghilangkan kemanusiaan yang justru adalah sifat magis alami manusia. Alih-alih mencari hal magis dalam diri orang lain, kita bisa membuat kemagisan dari diri kita sendiri asalkan kita mau.

Definisi Cantik??

Jenis kelamin manusia di dunia terbagi menjadi dua, yaitu laki-laki dan perempuan. Dari pembedaan jenis kelamin tersebut, laki-laki dan perempuan mendapat tempat, posisi dan peran yang sama sekali berbeda pula. Perbedaan mencolok pertama mungkin bisa kita lihat dari bentuk fisik tubuh laki-laki maupun perempuan itu sendiri dan perbedaannya pun hanya hal sepele, penis dan vagina.
Dalam hal tempat, perempuan diasosiasikan dengan tempat yang aman, dan di dalam rumah. Perempuan dianggap manusia lemah yang jika mereka diijinkan keluar rumah maka mereka akan tewas dengan mudahnya karena ancaman binatang buas, cuaca ekstrem dan lain sebagainya. Perempuan juga sudah umum dianggap pantas di rumah karena perempuan hanya menjadi pajangan rumah yang bisa dipamer-pamerkan para laki-laki kepada laki-laki lainnya jika dibutuhkan. Ketika para perempuan tidak menjadi bahan pameran mereka, perempuan hanya akan menjadi pemuas nafsu dan hasrat laki-laki dalam seks. Kehidupan perempuan pun hanya akan berkutat dalam hal rumah tangga. Sehingga hal ini mengakibatkan perempuan bergantung kepada para laki-laki secara finansial karena pekerjaan perempuan di dalam rumah tangga tidak menghasilkan gaji sepeser pun.
Lalu posisi perempuan dalam masyarakat pun sudah mengalami stigma yang pasti, yaitu keinferioran. Perempuan selalu kalah dalam segalanya. Perempuan dianggap tidak bisa melakukan hal apa pun, kecuali berdandan, memasak dan melahirkan. Stigma ini diambil dari falsafah orang jawa yang menganggap pekerjaan seorang perempuan yang menikah hanya macak, masak, dan manak. Perempuan juga tidak diijinkan untuk mengutarakan pendapat maupun pikirannya. Ironis!
Dalam hal peran, perempuan hanya dianggap berguna sebagai mesin pelestari umat manusia. Karena perempuanlah yang mengandung, melahirkan dan membesarkan anak-anaknya yang kelak akan menjadi generasi manusia baru di bumi.
Tempat, posisi dan peran perempuan tadi sungguh bagai buah simalakama bagi kaum hawa, ditambah lagi dengan adanya institusi buatan manusia yang bernama masyarakat dan fatalnya melegitimasi semua anggapan diatas. Dalam masyarakat yang lebih menganggap penis sebuah representasi dari laki-laki dominan kemudian memberi para perempuan sikap-sikap yang represif. Hal ini juga diamini oleh ditemukannya ilmu-ilmu pengetahuan yang malah berpihak terhadap para laki-laki. Dan sejak saat itu pula, kehidupan para perempuan sudah mendapat kutukan sebelum mereka lahir dan akan mengalami kutukan yang sebenar-benarnya pada saat mereka lahir dan mulai menghirup oksigen sebagai penanda hidup mereka.
Perempuan yang pada penjelasan diatas sudah tertimpa banyak kemalangan akibat kepemilikan kelamin vagina akan bertambah malang dengan adanya persaingan sesama kaum hawa serta stigma tradisi, norma dan paradigma yang sudah terlanjur salah dan meracuni masyarakat kita.
Persaingan dan paradigma yang terlanjur salah sudah bercokol dan mengeluarkan nanah kebusukan yang setiap harinya tampak tidak mengalami penyembuhan malah keterparahan adalah mengenai definisi cantik bagi perempuan itu sendiri. Kalau tuhan itu adil dan memang seharusnya seperti itu, semua perempuan akan terlahir cantik apapun bentuk rupa fisik mereka. Tapi kenyataan tidak seindah anggapan logika yang berjalan, bukankah logika kita sudah tertata bahwa laki-laki identik dengan ketampanan dan perempuan identik dengan kecantikan. Lalu kenapa definisi kecantikan dalam diri perempuan pun harus mengalami pendefinisian yang sangat kejam?. Definisi cantik terpaksa dan dengan sadisnya dibentuk berusaha menjadi komodoti manufaktur yang akhirnya menyakiti kaum hawa itu sendiri. Entah sejak kapan definisi cantik dalam masyarakat itu terbentuk dengan begitu kokohnya sehingga mereka akan dengan fasihnya bisa mendefinisikan perempuan cantik.
Sebenarnya dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, cantik didefinisikan sebagai 1. Elok, bagus, molek (tt wajah, muka); rupawan 2. Indah dari bentuk dan buatannya. Jadi definisi cantik harus diidentifikasi melalui rupa wajah dan bentuk perempuan secara keseluruhan. Berbicara tentang wajah, wajah adalah sesuatu yang menarik, unik, berupa fisik, lunak dan bahkan bisa go publik. Wajah kata sebagian besar orang adalah cermin dan simbol diri. Kita juga tahu bahwa wajah manusia didunia tidak ada yang sama persis dan ini menyuguhkan keunikan tersendiri. Wajah adalah refleksi kebenaran. Kita bisa melihat dengan jelas orang itu marah, sedih, bosan, gembira, semuanya melalui jendela wajah. Tapi hal ini sungguh sangat tidak adil jika wajah akan menjadi tolok ukur kecantikan seorang perempuan.
mistik kecantikan perempuan secara sederhana adalah keyakinan bahwa cantik itu baik dan jelek itu jahat. Hal ini dengan keras disanggah oleh Aristoteles, ia memisahkan antara kecantikan dan kebaikan. Aristoteles menganggap bahwa “kebaikan hanya terlihat dalam hubungan antar manusia sebagai subjek, sedangkan kecantikan dapat juga ditemukan juga di dalam benda-benda mati”, namun ia mendefinisikan kecantikan sebagai: “teratur, simetri dan tertentu”, atau “proporsional”, definisi yang bergaris besar sama dengan definisi dari KBBI.
Di sisi lain, ada anggapan bahwa secara umum wajah sebagi refleksi kecantikan perempuan dianggap merupakan sesuatu yang ilahiah dan bermakna mistis. Kecantikan dalam pendefisiannya pun jarang terdapat hal yang pasti, seperti contohnya seorang perempuan yang berwajah jelek tapi baik hati dan cerdas bisa dibilang sangat cantik. Hal ini dikarenakan kecantikan utama perempuan tersebut lebih terpancar melalui sikapnya dan kecerdasannya. Inilah mengapa ada anggapan bahwa cantik itu mistis, tidak ada pendefinisian yang pasti mengenai hal cantik.
 Ada fakta menyedihkan dan ironis tentang definisi cantik yang banyak terjadi di Indonesia, perempuan cantik didefinisikan perempuan yang berwajah putih, bentuk muka yang lonjong, berbibir merah, berambut panjang, berjari lentik, berkaki jenjang, berbokong montok dan ukuran payudara yang lumayan besar. Pendefinisian yang runtut tersebut telah membuat banyak perempuan mengalami penyakit lupus secara psikologi, kepercayaan diri yang seharusnya seperti imun untuk melindungi diri malah berbalik menggerogoti kepercayaan diri itu sendiri dari dalam hingga habis tak bersisa. Bahkan akhir-akhir ini banyak sekali perempuan yang melakukan bunuh diri massal dengan suntik botox, sedot lemak, operasi hidung agar lebih mancung, tattoo alis dan lain sebagainya. Perempuan malah malu tampil secara natural dan tanpa polesan. Kaum perempuan lebih ingin melegitimasi definisi cantik secara fisik, bukan secara mistis dan ilahiah.
Banyak kaum hawa sendiri juga memerangi kaumnya yang dianggap institusi masyarakat tidak cantik secara fisik terutama wajah, tidak mengikuti mode dan definisi cantik ala kaum perempuan modern. Perempuan yang penampilannya tidak termasuk dalam kategori definisi cantik tersebut termarginalisasikan dan mendapat cemooh pedas. Mereka dicibir mulai dari ndeso, tidak tahu cara dandan, jelek dari lahir, dll.
Sebenarnya apa salah perempuan yang mendapat kutukan sedahsyat itu bahkan dari kaumnya sendiri. Bukankah definisi cantik seharusnya datang dari masing-masing individu perempuan itu sendiri yang berhak memberi pendefinisian  cantik sesuai dengan kitab tubuh mereka. Cantik tidak lah melulu pada penampilan fisik yang terlihat saja tapi lebih dari itu. Cantik adalah bagaimana seorang perempuan memandang hidup dan menyikapi hidup itu sendiri sehingga definisi cantik adalah mistis benar adanya. Anggapan perempuan berkulit hitam yang percaya pada dirinya sendiri bahwa dia dapat sukses dan menaklukan dunia serta hobby bersyukur juga menolong lebih terlihat cantik daripada perempuan berkulit putih bertubuh bagus, berlipstik tebal dan penebar pesona dimata penulis. Lalu, apa definisi cantik menurut anda? Silahkan memilih dan memutuskan sendiri! 

PEREMPUAN DALAM TERORISME

Pada layar televisi kita akhir-akhir ini, pemberitaan didominasi oleh masalah terorisme. Terorisme kali ini dilakukan berbeda dari cara sebelumnya. Pada masa-masa sebelumnya, tindakan terorisme selalu berkutat dengan bom, baik itu melakukan pengeboman pada suatu tempat atau bom bunuh diri yang akan menghasilkan korban yang tidak sedikit. Namanya juga aksi terorisme, maka akhir cerita yang mereka inginkan adalah terciptanya keresahan, kegelisahan, ketakutan, dan kecemasan yang tiada hentinya.
Akibat aksi terorisme ini lebih kuat dirasakan oleh para perempuan, terutama ibu-ibu dan istri-istri. Mereka takut kalau-kalau anak laki-laki atau suami mereka terlibat dan bergabung dengan teroris. Pun ketika hal itu menjadi kenyataan, para perempuan itu sudah dan akan bingung, bagaimana nasib mereka kelak. Hidup juga tidak akan sama dengan yang dahulu.
Menurut pemahaman para ibu-ibu dan para istri awam, teroris adalah orang yang mengambil jalur radikal guna melegitimasi kepercayaan mereka dan menghabisi orang-orang yang tidak sepaham dengan mereka. Padahal, istilah terorisme jika ditilik dari pengertian Adjie S, Msc adalah suatu madzhab atau aliran kepercayaan melalui pemaksaan kehendak guna menyuarakan pesan, asas dengan cara melakukan tindakan illegal yang menjurus kearah kekerasan, kebrutalan bahkan pembunuhan. Sehingga secara kasar kita bisa menyatakan bahwa terorisme adalah tindakan yang meneror masyarakat.
Keadaan semakin parah dan tak terkendali karena stigma masyarakat mengenai terorisme disamaratakan dengan perbuatan zina, membunuh, merampok, dan lain-lain. Sehingga para perempuan yang terkait dengan para teroris, baik itu ibu maupun istri teroris akan menjadi stigma yang akan melekat pada mereka seumur hidup.
Seandainya para perempuan yang anak laki-laki atau suami mereka terlibat dengan hal perterorisan tahu bahwa sebenarnya aksi terorisme berdasarkan tautan historiografi, bukanlah hal yang baru bahkan aksi terorisme sudah lahir sejak ribuan tahun silam. Seperti yang terjadi dalam sejarah Yunani kuno, Xenophon menggunakan psychological warfare sebagai usaha untuk memperlemah lawan. Di India, Kaultiya yang menulis Arthashastra (303 BC), menyatakan bahwa Tunim Yuddha atau perang secara diam-diam dilakukan untuk mengalahkan lawan-lawannya. Pun pada dekade ini aksi terorisme sudah mengenal cara membunuh dengan jalan menebar racun, melakukan pemberontakan yang tidak disadari lawan untuk memperoleh kemenangan.  Dan sesungguhnya kata “terorisme” diperoleh dari rezim terror yang terjadi selama Revolusi Perancis tahun 1790-an.
Aksi terorisme seiring dengan bergulirnya waktu mengalami tarik ulur perubahan dan bukanlah suatu hal baru. Namun, terorisme sudah menjadi semacam fenomena dalam masyarakat yang berkembang ke dalam suatu strategi tingkat tinggi. Aksinya pun sekarang tidak lagi secara diam-diam tapi sudah merambah ke dalam aksi yang terbuka. Ditambah pemberitaan media baik cetak maupun elektronik yang membuat aksi terorisme semakin mendapat momentum puncak keresahan masyarakat. Dan dengan adanya momentum keresahan masyarakat ini, para perempuan yang tidak lain ibu atau istri sang teroris semakin mendapat stigma yang semakin berat, tidak hanya dari masyarakat sekitar tetapi masyarakat senegara.
Kasus aksi terorisme yang paling up date adalah aksi terorisme di Deli Serdang, Sumatra Utara. Aksi tersebut menelan korban tak hanya dari terorisnya itu sendiri, tapi dari aparat kepolisian maupun Densus 88 yang mengalami baku tembak seru pada saat penyergapan.
Kejadian seru yang berlangsung pada saat baku tembak tidak hanya berakhir begitu saja, bahkan tragedi selanjutnya akan segera dimulai. Tragedi tersebut adalah peperangan melawan stigmatisasi masyarakat terhadap pelaku aksi terorisme dan semua yang terkait dengannya, tak terkecuali para ibu dan istri sang terrorist. Kekejaman stigma masyarakat mengenai aksi pelaku teroris saat ini mungkin bisa disamakan dengan stigmatisasi masyarakat terhadap keluarga yang diduga penganut komunis pada zaman Orde Baru dulu. Sejak pelaku teror tertangkap, diidentifikasi identitasnya serta diumumkan di masyarakat melalui media baik cetak maupun elektronik, nasib malang akan menimpa keluarga teroris tersebut, terlebih lagi perempuan yang menjadi  ibu dan istri dari sang terrorist.
Ibu dan istri yang bisa dibilang paling dekat dan tahu kepribadian pelaku teroris dengan sangat baik, yang awalnya tidak tahu-menahu dan tidak diketahuinya anak maupun suaminya terlibat aksi terorisme  harus mendapat beban psikologi represif membabi buta yang dilakukan oleh masyarakat. Tetangga yang dulunya baik dan ramah berubah menjadi kejam, tak manusiawi. Intimidasi-intimidasi pun dengan gencar dilakukan masyarakat sekeliling rumah ibu dan istri teroris, baik secara terang-terangan maupun tersembunyi. Tapi aneh bin ajaibnya, perlakuan masyarakat yang berakar dari stigmatisasi umum melegitimasi tindakan itu.
Ibu dan istri teroris yang juga seorang perempuan kadang sangat menderita atas ulah anak dan suaminya itu. Mereka mengira bahwa anak dan suaminya hidup jauh dari hal yang tidak terduga itu sampai kenyataan berkata lain.
Perlakuan tidak manusiawi yang dilakukan masyarakat terhadap perempuan berelasi dekat dengan teroris itu berlangsung bertubi-tubi, bahkan perempuan-perempuan itu dianggap seperti air nila yang telah merusak susu sebelanga. Keberadaan mereka di lingkungan masyarakat tidak diperhitungkan lagi, bahkan mereka dianggap tidak ada secara fisik maupun sejarah diri. Para perempuan itu dialienasi dalam lingkungan, bahkan ada tindakan yang sangat radikal, yaitu mengalami pengusiran.
Seandainya masyarakat tahu dan paham bahwa perempuan yang menjadi ibu dan istri terrorist juga manusia biasa, apakah mereka akan melakukan sigmatisasi dan tindakan yang tidak manusiawi itu?? Entahlah. Atau mungkin juga kebusukan masyarakat kita memang terlalu melegitimasi stigma dan semua tindakan yang berdasarkan hal itu, tanpa mereka tahu mungkin tindakan dan stigma mereka lebih kejam daripada tindakan terorisme itu sendiri.  Menyedihkan!

Youth and Peace: An Effort to Achieve World Peace

The world peace is always associated with the state of a man who is not uptight, outer and inner peace. Feelings of anxiety are not bringing people into an atmosphere of conducive for itself in producing a work that was real for the benefit of mankind itself.

In fact, have ever peace completely created and materialized? As we know so far, global peace has never really embraced us significantly. This is because the cold war still going on, injustice is everywhere, the gaping disparity between the rich and the poor exist in various parts of the world, human selfish still being scattered everywhere, security has not been established, widespread hunger, poverty, etc.

Then, what kind of peace that we want? What it is the importance that our stomach can eat? There is no dispute anywhere? Is the judge firmly in the proper of real justice? Was there no famine? Is there no poverty? It turned out so many thoughts raced through human who wants to feel at peace. Is peace only a mere utopia?

Real peace can be achieved if the human being has a soul of tolerant, easy to forgive and not gluttony. But in reality this world has been divided into more than 100 countries and the peace that could be achieved easily become very difficult.

Seeing this, the peace into business affairs of each country are held by their respective governments as well. In this stage, if we want to achieve it, we must set the record straight about the concept of what is the global world peace?

Referring to the statement about world peace brought by Immanuel Kant in his famous book entitled 'Perpetual Peace', if
humanity wants to achieve global world peace then there are two things that need to be done:

First, keep organizations above the Countries which can formulate the concept of international law and global world peace itself that could control human behavior so they cannot easily damage the peace of the world with acts of war, terrorisms, etc. However, the weakness of this statement to me is about the regulators or executors of this concept of peace and international law. Regulator or executor must be truly independent, not driven or influenced by anyone and anything to ensure the enforcement of international law of peace will always stand upright.

Second, it needs a mass awareness about the need to achieve world peace in various lines of life. Of course, this awareness did not grow by itself but we must also give considerable insight and understanding to all mankind about the consciousness of world peace.
Referring to the various issues above, then who are the right people in starting the movement for world peace? Is it parents, women, men, children or young people who incidentally will be the successor of a nation in the future?

According to my thought and opinion, the best position and strategic in starting the difficult task of world peace is in the hands of youth. Youth is the most critical community groups on all matters and the role of the youth have been proven to be very important in realizing the peace of this world. As we know that youth have a positive spirit and young upheavals that could make a change in the State though.
 
Changes as exemplified by the young United States in the 1960s who protested the U.S. attack against the Vietnam, and there is also the Indonesian student movement in 1998 simultaneously doing a demo protesting the decline of the Suharto regime, etc.
And all related about it, history has proven that youth can change, they also can drive and controlling of such an institution, government, organizations or even individuals who act arbitrarily.

To maximize the realization of peace in the world in a structured and well organized, the youth around the world should be aware and make a worldwide network of youth groups from the regional, national to international.

For that reason, I referred to this as a business that is very hard and must be done continuously, due to the challenges of international unification. So, with the presence of a youth organization in the world, it is hoped that it can be an alternative of purely independent organization above countries besides the United Nations that is expected to become an independent organization in addition to overseeing the UN world peace and ensuring the international law of world peace can be run, so that the ideals peace that seems very utopian can be realized.
Amen!

Perempuan dalam Lagu Cengeng

Hidup bagaikan sebuah cerita. Hidup seperti lembaran kertas putih yang panjang. Hidup tidaklah semudah kata hidup itu sendiri. Hidup selalu memerlukan alur jika itu sebuah cerita dan warna jika itu sebuah kertas putih. Hidup selalu memberi kita segala hal yang tak terduga dan tak dinyana.
Alur dan warna dalam hidup membuat hidup menjadi sesuatu yang dinamis dan bergerak, tapi kadangkala hidup juga dipengaruhi hal-hal yang sepele dan sederhana, yang bisa membuat hidup kadang stagnan, mengeluh, dan terpuruk.
Alur dan warna dalam hidup sesungguhnya begitu nyata, jika hal itu dirasa oleh makhluk yang bernama ‘perempuan’. Menurut banyak penelitian, perempuan adalah sesosok makhluk yang emosional dan selalu hanyut pada perasaan sendiri. Perempuan juga sosok yang rapuh dan gampang hancur. Untuk itulah, kebanyakan perempuan memerlukan sesuatu untuk menopang hidupnya. Sesuatu yang remeh temeh dan hal yang cengeng.
Hal remeh temeh dan cengeng dalam hidup perempuan tersebut adalah lagu. Lagu sebenarnya mempunyai peran yang penting dan signifikan karena hidup tanpa musik adalah seperti sayur tanpa garam, kurang sedap dan nikmat. Dan hal ini juga membuktikan bahwa kata-kata remeh, dunia ini panggung sandiwara, ceritanya mudah berubah itu betul sekali Kata tersebut dicuplik dari lirik lagu Panggung Sandiwara yang dinyanyikan Nicky Astrea.
Dulu, Menteri Penerangan Harmoko, pada ultah TVRI yang ke-26, sempat melarang lagu-lagu cengeng muncul di layar kaca karena menurut beliau lagu-lagu cengeng disinyalir dapat mempengaruhi kondisi mental kejiwaan bangsa Indonesia. Lagu-lagu cengeng dapat menyebabkan para si pendengar mempunyai mental yang lembek, loyo, dan tidak bersemangat. Lalu, apakah benar pengaruh lagu-lagu cengeng sedemikian hebat seperti itu?
Kalau kita telisik lebih jauh, bukankah sebuah lagu meskipun itu cengeng, tragis, atau menggelora adalah sebuah karya yang patut kita apresiasi sedemikian rupa. Lalu menyangkut tentang isi lirik lagunya yang sedikit cengeng atau mellow bukanlah menjadi sebuah hal yang negatif sepenuhnya? Karena kita tahu bahwa yang memproduksi lagu-lagu tersebut berasal dari penyanyi pria ataupun wanita, dari yang penyanyi single maupun grup band. Dan, sebuah lagu tidak akan pernah diproduksi oleh label musik, jika lagu tersebut tidak laku dipasaran. Sungguh sebuah Ironi kenyataan yang pahit dari interaksi pemerintah, pelaku industri maupun masyarakat kita sendiri.
Kenyataan pahit itu semakin nyata saja kebenarannya jika kebanyakan penyuka lagu cengeng adalah perempuan. Dari segi psikologis pun perempuan memang sudah menjadi sasaran empuk produksi lagu-lagu cengeng tersebut. Lalu, apa salahnya menyukai lagu-lagu cengeng? Meskipun pada periode dahulu pemerintah melarang lagu-lagu cengeng diputar, maka hal ini tidak akan terjadi pada zaman cyber abad ke-21 sekarang ini di negara kita. Lagu-lagu cengeng bahkan menjadi trend dalam masyarakat, dari penyanyi single, duo, sampai grup band ramai-ramai memproduksi lagu-lagu cengeng. Hal tersebut didukung pula oleh maraknya kuantitas industri musik dalam negeri kita. Unsur vokal dan kualitas menjadi tidak begitu penting lagi, asalkan lirik-lirik lagu tersebut bernada cengeng, mudah dihapal, sederhana, dan mengena di hati masyarakat Indonesia terutama perempuannya.
Malah, ada suatu kejadian unik dan aneh yang banyak terjadi dalam kenyataannnya. Ada seorang teman perempuan yang dia mengaku sulit mengungkapkan apa yang dia rasa dengan kata-kata. Tapi, dia akan sangat fasih mengungkapkannya melalui lirik-lirik lagu yang pas dengan  keadaannya pada saat itu juga. Seperti ketika dia sedang kangen dan rindu dengan kekasihnya, maka dia pasti akan menyetel lagu Ruang Rindu dari Letto: Tak pernah kuragu dan selalu kuingat kerlingan matamu dan sentuhan hangat/ Ku saat itu takut mencari makna, tumbuhkan rasa yang sesakkan dada/ (*) Kau datang dan pergi begitu saja, semua kuterima apa adanya/ Mata terpejam dan hati menggumam, di ruang rindu kita bertemu. Dia bilang lirik di lagu tersebut pas sekali dengan keadaanya.
Lalu, teman perempuan yang lain berkata ketika dia sedang jatuh cinta, maka dia akan mendengarkan lagu dari penyanyi wanita, yang notabene tak kalah dari penyanyi Letto yang dimotori oleh para lelaki. Teman perempuan yang lain juga berkata bahwa penyanyi perempuan juga banyak sekali menyumbang lirik-lirik lagu yang cengeng, seperti apa yang dinyanyikan oleh Rossa dalam Ayat-ayat Cinta. Lirik dalam lagu tersebut begitu mendayu-dayu dan membuat hati berdesir dan tentu saja cengeng. Sepenggal lirik tersebut berbunyi: Desir pasir di padang tandus/ Segersang pemikiran hati/ Terkisah ku di antara  cinta yang rumit/ Bila keyakinanku datang/ Kasih bukan sekadar cinta/ Pengorbanan cinta yang agung/ Kupertaruhkan.
Ternyata, pada akhirnya lagu cengeng tetaplah lagu cengeng, baik lagu tersebut digubah oleh lelaki ataupun perempuan. Lagu tersebut tetaplah membawa nuansa kecengengan kita sebagai manusia jika dalam keadaan terpuruk apalagi terpuruk oleh cinta. Maka jangan menjadi perempuan cengeng dalam lagu-lagu cengeng!