Hidup manusia, kata orang Jawa, hanya mampir ngombe. Namun, waktu mampir ngombe yang sekejap ini membuat manusia menjadi benar-benar manusia, manusia seutuhnya. Bahkan, bisa dibilang dalam hidup manusia yang sekejap itu ada hal magis, yang membuatnya tidak hanya sekadar hidup, tapi hidup yang magis.
Dahulu kala, menurut cerita ilmiah, konstruksi hidup manusia didahului oleh pembentukan manusia itu sendiri yang mengalami fase panjang dalam evolusi. Berdasarkan pendapat ilmuwan biologi terkemuka, Charles Darwin, manusia adalah evolusi dari kera yang berjalan tegak karena proses waktu yang panjang. Evolusi ini juga didukung oleh hasil penelitiannya yang lain di Pulau Galapagos, yang menambahi pula bahwa suatu makhluk yang hidup sampai sekarang adalah makhluk pilihan karena makhluk yang hidup telah lolos dari seleksi alam. Manusia termasuk ke dalam makhluk yang lolos seleksi alam ini. Berdasarkan hal ini pula, dinyatakan juga bahwa manusia bisa lolos seleksi alam karena memiliki akal pikiran, sedangkan makhluk-makhluk yang lain tidak.
Setelah proses evolusi manusia memasuki zaman pra-sejarah. Di sini manusia hidup hanya untuk tujuan mempertahankan diri dan memenuhi kebutuhan pangannya. Karena hal itulah, manusia sedikit demi sedikit tahu akan kegunaan benda-benda di alam sekitarnya. Manusia juga mulai mempelajari benda-benda apa yang bisa dimakan, yang bisa diminum, yang berbahaya, yang aneh. Manusia pun mulai bertanya-tanya tentang ini dan itu. Kenapa ikan kalau dibakar lebih enak, kenapa hujan turun, kenapa salju turun, kenapa ada matahari, dan lain sebagainya. Di sinilah terjadi fase perkembangan akal pikiran bagi manusia. Lambat laun manusia bisa mengidentifikasi hal-hal yang berguna bagi mereka ataupun yang tidak. Mereka juga mulai membuat api, berburu binatang untuk dimakan, membuat rumah, berpindah-pindah ke tempat yang mempunyai sumber makanan yang banyak. Hal-hal dan pengalaman-pengalaman inilah yang mendasari, membentuk, dan mengonstruksi hidup manusia menjadi magis, manusia yang hidup sebagai manusia seutuhnya. Hal-hal atau perilaku tersebut kemudian dinamakan dan diidentifikasi sebagai perilaku manusiawi, perilaku yang bersifat kemanusiaan. Sehingga perilaku manusiawi adalah magis manusia.
Ditilik dari keadaan zaman sekarang, manusia sudah bisa dikatakan tidak manusiawi lagi dan tentu saja tidak magis lagi. Manusia sekarang seperti robot yang menjalani ritus keseharian tanpa ada rasa yang muncul, yang ada hanya kebingungan rasa. Kita bisa mengecek hal ini dengan menyuruh satu per satu orang untuk bercerita tentang kehidupan keseharian mereka. Hasilnya, kebanyakan dari mereka pasti bungkam dan tidak bisa menceritakan apa-apa kecuali jawaban klise: “Ya, saya melakukan hal yang sama setiap hari.” Sungguh memilukan! Manusia terjangkit virus alienasi terhadap diri sendiri, manusia menjadi makhluk yang diperbudak oleh ritus keseharian. Parahnya lagi, ritus keseharian manusia sekarang tidak manusiawi lagi, tapi semuanya bersifat mekanisasi dan mesinisasi. Manusia juga dihajar oleh jargon efektif dan efisien, yang notabene telah menghilangkan hal magis kemanusiaan dalam diri manusia.
Kita bisa menengok sebentar ke dalam kehidupan seorang ibu rumah tangga yang bisa menjadi contoh sederhana. Setiap harinya ibu rumah tangga tidak melakukan kewajibannya sebagaimana mestinya. Mungkin secara penglihatan mata ibu rumah tangga telah melakukan pekerjaannya, seperti mencuci, memasak, menyapu, dan lain-lain. Tapi secara manusiawi, ibu rumah tangga tersebut tidak melakukan apa-apa karena pekerjaannya sudah dikerjakan oleh mesin. Mau mencuci ada mesin cuci, mau memasak ada kompor gas, mau menyapu ada vacuum cleaner. Dengan hal ini, magis dalam diri manusia sedikit demi sedikit telah hilang. Manusia hidup tidak dengan ruh manusia itu sendiri, tapi ruh mesin. Jiwa manusia kosong karena ruhnya digantikan oleh mesin. Hidup manusia diperbudak oleh mesin.
Berbicara tentang hal magis yang nyata mungkin kita tidak bisa terlepas dari sosok Mbah Maridjan, juru kunci Gunung Merapi. Mbah Maridjan adalah contoh nyata representasi manusia magis. Persuratkabaran nasional bahkan sudah mengeksploitasi kemagisan Mbah Maridjan itu. Ia dijadikan objek arus informasi, tapi pada akhirnya dapat menyelamatkan diri dengan menginsafi diri kembali menjadi diri yang dulu. Mbah Maridjan, seorang figur manusia Jawa yang mempunyai pemikiran magis. Kita semua tahu bahwa pada saat Gunung Merapi meletus, Mbah Maridjan menolak untuk dievakuasi. Alih-alih dievakuasi, Mbah Maridjan ditemukan mati dalam keadaan bersujud di rumahnya.
Hal yang nyata sudah terbukti bahwa manusia Jawa adalah manusia magis. Magis di sini terpancar karena ilmu titen dan batin yang kuat merasai kehidupan. Sungguh, Mbah Maridjan adalah kemagisan (yang) hilang. Dari cerita sederhana seorang Mbah Maridjan, kita bisa menarik garis untuk juga menjadi manusia yang magis dengan menjadi manusia yang manusiawi kembali. Teknologi memang bertujuan untuk memudahkan manusia, tapi bukan berarti menghilangkan kemanusiaan yang justru adalah sifat magis alami manusia. Alih-alih mencari hal magis dalam diri orang lain, kita bisa membuat kemagisan dari diri kita sendiri asalkan kita mau.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar